Kamis 27 Sep 2018 08:34 WIB

Bermasalahkah Nomor Urut Capres 01 dan 02?

'Mereka yang memberikan suara tidak menentukan pemilu, tapi mereka yang menghitung.'

Harun Husein
Foto: Republika/Daan Yahya
Harun Husein

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Harun Husein, Wartawan Republika

Manipulasi hasil pemilu melalui perangkat teknologi informasi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sudah tiga atau empat pemilu, isu ini selalu mencuat.

Kali ini, dalam bentuk tambahan angka nol di depan nomor urut capres-cawapres, yang dikaitkan dengan bilangan biner pada sistem komputasi. Termasuk yang digunakan dalam Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU.

Ada beberapa pihak mempertanyakan angka nol tersebut, yang dikaitkan dengan upaya memanipulasi hasil penghitungan suara di Situng KPU. Bahwa angka nol itu dimaksudkan untuk memudahkan manipulasi di tingkat bilangan biner.

Lainnya menambahkan, dalam sistem bilangan biner hanya ada angka 0 dan 1, tidak mengenal angka 2. Informasi seperti ini meresahkan, terutama bagi pendukung capres-cawapres. Apalagi, persoalan serupa dari pemilu lalu, juga belum clear.

Kita masih ingat, pada pemilu lalu, seorang politikus dengan gagahnya mengungkapkan ke media, ada orang berpengaruh yang mengirimkan mobil boks di depan kantor KPU untuk menyedot data KPU. Sampai saat ini, masih banyak yang percaya.

Sebelum berimajinasi terlalu jauh, mari kita tengok kronologinya. Ini, pertama kali diungkapkan cawapres Sandiaga Uno saat memberikan sambutan di podium KPU, setelah mengambil nomor urut.

Begini kutipan lengkapnya, “Untuk menunjukkan bahwa kita semua elite sejuk, teduh, damai, tadi sebelum acara dimulai, ada kawan saya, Ipang Wahid, naik tergopoh-gopoh, mukanya tegang, bilang, 'Pak Presiden berkenan menerima saya dan Pak Prabowo di bawah.' Dan, tadinya kita pikir setelah ini kita akan ketemu, tapi ini kayaknya penting sekali. 

Ternyata, di bawah itu kita membicarakan, apakah nomor urut satu dan dua ini yang dipilih, karena akan menimbulkan komplikasi. Karena, ada partai yang juga bernomor urut satu dan nomor urut dua. Tapi, Pak Prabowo, Pak Presiden Joko Widodo, dengan santainya, dengan cairnya, memutuskan menambah angka kosong, nol, di depan: 01 dan 02."

Sebelum meninggalkan gedung KPU, saat di-door stop wartawan, Sandiaga memberikan penjelasan tambahan, “Tadi juga [undian nomor urut] agak sedikit tertunda karena permintaan dari kubu Koalisi Indonesia Kerja untuk menukar nomor urut tadi dengan ditambah angka kosong di depan. Salah satu input yang kami dapatkan bahwa mungkin menguntungkan salah satu partai di koalisi Pak Jokowi dan Kiai Ma'ruf. Dan, kami dengan cepat sekali tanpa harus berbelit-belit menyetujuinya, selama sesuai dengan ketentuan. Dan itu adalah kecairan suasana dan persahabatan yang kita miliki.”

Apa yang penting dicatat di sini? Pertama, angka nol itu diusulkan sebelum undian. Andai penambahan angka nol itu diusulkan setelah jelas siapa yang dapat nomor 1 dan 2, mungkin kecurigaan itu cukup layak dibahas.

Sebenarnya, detail informasi yang disampaikan, ada benarnya. Yaitu, sistem bilangan biner, memang merupakan sistem penulisan angka dengan hanya menggunakan dua simbol, yaitu “0” dan “1” . Dan, ini yang digunakan dalam sistem dan program komputer.

Tapi, kalau data ini secara gegabah langsung dikaitkan dengan nomor urut capres-cawapres, hasilnya bukan informasi, melainkan misinformasi, bahkan disinformasi. Catatan kedua, penambahan angka nol itu dilatari kecemasan kesamaan nomor urut capres dengan nomor urut partai.

Ini berimplikasi pada dua hal. Pertama, sosialisasi. Kedua, presidential coattail effect  (efek ekor jas), yaitu kecenderungan pemilih memilih capres-cawapres dan partai/koalisi partai yang mengusungnya.

Jauh sebelum undian nomor urut capres, nomor urut partai ditetapkan. Nomor satu adalah PKB, nomor dua Gerindra, nomor tiga PDIP, nomor empat Golkar. Inilah tampaknya yang memicu pihak Jokowi-Ma’ruf Amin meminta lobi setengah kamar sebelum undian nomor urut.

Karena pasangan capres-cawapres hanya dua, nomor urut yang tersedia hanya satu dan dua. Jokowi sebagai kader PDIP, tentu punya beban memenangkan partainya, di samping koalisinya. Jadi, sedapat mungkin asosiasi Jokowi dengan PDIP harus diperkuat.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement