Rabu 26 Sep 2018 10:33 WIB

Pilihan Menaikkan Iuran BPJS Kesehatan

Pemerintah sedang menghitung kemungkinan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

Warga mendaftar menjadi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Kantor Cabang BPJS Kesehatan Jakarta Selatan, Jumat (21/9). Pemerintah melalui Kementerian Keuangan akan mengeluarkan dana cadangan APBN untuk menutupi defisit yang dialami BPJS Kesehatan sebesar Rp4,9 triliun.
Foto: Muhammad Adimaja/Antara
Warga mendaftar menjadi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Kantor Cabang BPJS Kesehatan Jakarta Selatan, Jumat (21/9). Pemerintah melalui Kementerian Keuangan akan mengeluarkan dana cadangan APBN untuk menutupi defisit yang dialami BPJS Kesehatan sebesar Rp4,9 triliun.

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Dessy Suciati Saputri, Inas Widyanuratikah

JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut, pemerintah tak menutup kemungkinan setuju atas opsi penyesuaian iuran peserta BPJS Kesehatan. Ini dilakukan guna mengatasi masalah defisit keuangan BPJS Kesehatan.

"Kalau memungkinkan, kenapa tidak. Tapi masih dihitung," kata Jokowi, Selasa (25/9).

Jokowi juga merespons positif usulan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang memberi masukan demikian.  "Saran dari IDI baik, tapi apa pun harus dihitung," ucap Jokowi.

Sebelumnya, saat bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan, Senin (24/9), Ketua Umum IDI Ilham Oetama Marsis mengusulkan agar dilakukan penyesuaian iuran para peserta BPJS non-PBI (penerima bantuan iuran). Hal ini karena hasil pajak rokok yang dialihkan tak akan mampu menutup kekurangan keuangan BPJS.

IDI memperkirakan defisit keuangan BPJS hingga Desember nanti dapat mencapai Rp 16,5 triliun jika tak dilakukan perbaikan sistem pengelolaan. Sementara, dana talangan pemerintah atau bailout hanya sebesar Rp 5 triliun.

"Ada kekurangan Rp 11,5 triliun. Tentunya masalah ini akan berulang kembali di masa berjalan," kata dia.

Evaluasi aturan rujukan berjenjang

Sementara itu, BPJS Kesehatan tengah mengkaji peraturan baru soal urutan rujukan fasilitas kesehatan. Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan, ia memahami kekhawatiran menumpuknya pasien apabila sistem ini diterapkan.

Sistem ini diharapkan dapat mendorong pemerintah daerah untuk menata dan mengatur distribusi rumah sakit di wilayahnya. Meskipun demikian, ia mengatakan, saat ini masih dilakukan uji coba.

"Tentu kalau ada dinamika menjadi bahan evaluasi dan perbaikan implementasinya," kata Iqbal, Selasa (25/9).

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai rujukan berjenjang adalah hal yang baik. Namun, jenjang yang dilakukan harus sesuai dengan penyakit yang diderita pasien terkait dan juga kemampuan rumah sakit yang dirujuk.

"Harus dilihat juga penyakit A bisa di rumah sakit yang tipe apa. Daripada dia dirujuk, terus dirujuk lagi ke tipe C, terus ke tipe B, hanya untuk mengatakan rujuknya berdasarkan tipe, ini akan jadi inefisiensi," kata Timboel.

Menurut dia, dalam proses rujukan ini Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) harus memiliki pengetahuan soal Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (FKTL). Apabila FKTP mengetahui informasi FKTL yang akan dirujuk, pasien tidak akan terombang-ambing.

Berdasarkan Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 4 Tahun 2018, rujukan berjenjang bedasarkan kebutuhan medis. Selain itu, rujukan harus dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama. Ini berarti pasien harus datang ke rumah sakit tipe D telebih dahulu sebelum menerima pelayanan kesehatan.

Dari Surabaya, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Korwil Surabaya menilai peraturan tersebut mempersulit warga. Sebab, warga tidak bisa lagi meminta rujukan ke rumah sakit yang dekat dengan tempat tinggalnya, tetapi harus dirujuk ke rumah sakit tipe D dahulu, baru kalau tidak mampu bisa dirujuk ke rumah sakit tipe C, B, dan A.

"Kami menilai tidak sesuai dengan harapan, mempersulit warga," kata Koordinator Persi Korwil Surabaya, Herminiati.

Herminiati menganggap peraturan yang diberlakukan ini juga menyalahi UU No 36 Tahun 2016 tentang pelayanan kesehatan. Dalam UU itu tertuang, setiap orang berhak dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan, berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau, serta berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.

“Makanya kami dari Persi menolak aturan itu. Seharusnya diolah dahulu, baru diuji coba. Uji coba pun menurut saya jangan seluruh Indonesia. Misalnya, satu kota dulu atau desa. Kemudian, baru diperbaiki,” ujar Herminiati yang juga Direktur Utama RSIA Putri ini.

(dadang kurnia ed: angga indrawan)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement