REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung langsung mengajukan banding seusai divonis 13 tahun penjara. Syafruddin dinyatakan terbukti melakukan penghapusan piutang Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim, sehingga merugikan negara Rp4,58 triliun.
"Satu hari pun kami dihukum, kami akan marah dan menolak, kami menolak dan kami minta ke tim penasihat hukum kami, saat ini juga setelah selesai kami akan daftarkan untuk banding," kata Syafruddin kepada majelis hakim di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (24/9).
Syafruddin divonis 13 tahun penjara ditambah denda Rp700 juta subsider 3 bulan kurungan. "Saya kira saya merasa saya punya hak untuk cari keadilan. Tadi saya katakan satu hari pun, satu detik pun saya dihukum saya akan banding. Jadi tak perlu saya konsultasi pada siapapun karena saya belum dapatkan keadilan dalam proses ini," kata Syafruddin seusai sidang.
Ia mengaku sangat sedih dengan putusan majelis hakim yang terdiri atas Yanto, Diah Siti Basariah, Sunarso, Anwar dan Sukartono itu.Syafruddin menilai, kepastian hukum di Indonesia telah dinodai.
"Bayangkan pemberian SKL (Surat Ketetapan Lunas) itu sudah melalui proses luar biasa dari pemerintah sejak tahun 1999 sudah memberikan 'release and dicharge'. Tahun 2004 sudah diberikan juga berdasarkan inpres dan keputusan KKSK jadi bukan saya, bukan saya. Saya hanya melaksanakan keputusan pemerintah," jelas Syafruddin.
Baca juga: Syafruddin Temenggung Divonis 13 Tahun Penjara
https://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/18/09/24/pfk02g428-syafruddin-temenggung-divonis-13-tahun-penjara
Menurut Syafruddin, pemerintah sejak 2008 juga sudah menyampaikan masalah ini ke DPR sehingga urusannya sudah selesai. "Jadi saya tidak mengerti apa masalah kita di sini? Bangsa ini dipertaruhkan oleh ketidakpastian hukum. Masalah penegakan hukum tidak secara arif disamakan dengan masalah keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Saya kira ini luar biasa dampaknya," tegas Syafruddin.
Ia juga memrotes bank-bank lain yang masih menunggak BLBI, namun tidak diajukan proses hukum. "Ada 30 bank belum bayar tidak diapa-apakah, ini masalah besar, demotivitasi dunia usaha. Saya menolak," ucap Syafruddin.
Syafruddin mengaku bahwa banding yang ia ajukan adalah keputusan wajar karena ia sudah bekerja sebaik-baiknya agar Indonesia keluar dari krisis 1998. "Dan 15 tahun kemudian saya mendapat hukuman. Ini jauh dari keadilan dan akan saya perjuangkan. Ini persoalan kepastian hukum. Saya yakin bahwa keadilan akan datang karena saya yakin bangsa kita bangsa yang besar," ungkap Syafruddin.
BDNI milik Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim adalah salah satu bank yang dinyatakan tidak sehat dan harus ditutup saat krisis moneter pada 1998. BDNI mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian "Master Settlement Aqcuisition Agreement" (MSAA).
BPPN menentukan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) per 21 Agustus 1998 memiliki utang (kewajiban) sebesar Rp47,258 triliun yang terdiri dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp35,6 triliun dan sisanya adalah simpanan pihak ketiga maupun "letter of credit".
Sedangkan aset yang dimiliki BDNI adalah sebesar Rp18,85 triliun, termasuk di dalamnya utang Rp4,8 triliun kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) milik Sjamsul Nursalim yang awalnya disebut Sjamsul sebagai piutang padahal sebenarnya adalah utang macet (misrepresentasi).
Dari jumlah Rp4,8 triliun itu, sejumlah Rp1,3 triliun dikategorikan sebagai utang yang dapat ditagihkan (sustainable debt) dan dibebankan kepada petambak plasma dan yang tidak dapat ditagihkan (unsustainable debt) sebesar Rp3,5 triliun yang dibebankan kepada Sjamsul sebagai pemilik PT DCD dan PT WM berdasarkan keputusan KKSK pada 27 April 2000 yang dipimpin Kwik Kian Gie.
Namun, berdasarkan keputusan KKSK pada 29 Maret 2001 yang dipimpin Rizal Ramli, utang yang dapat ditagih menjadi Rp1,1 triliun dan utang tidak dapat ditagih menjadi Rp1,9 triliun berdasarkan kurs Rp7.000/dolar AS. Sjamsul tetap menolak membayarkan utang tersebut.
Syafruddin lalu memerintahkan anak buahnya membuat verifikasi utang tersebut dan berkesimpulan seluruh utang "sustainable" dan "unstainable" adalah Rp3,9 triliun dengan kurs Rp8500/dolar AS pada 21 Oktober 2003 yang dilaporkan dalam rapat terbatas pada 11 Februari 2004 yaitu utang yang dapat ditagih ke petambak Rp1,1 triliun dan utang tak tertagih Rp2,8 triliun.
Bahkan pada 13 Februari 2004 di bawah kepemimpinan Dorodjatun, KKSK menyetujui penghapusan utang PT DCD dan PT WM sehingga tinggal utang petambak senilai Rp1,1 triliun dengan rincian utang petambak menjadi Rp100 juta/petambak dikalikan 11 ribu petambak dari tadinya utang Rp135 juta/petambak. Belakangan saat dijual ke investor, dana untuk negara tinggal Rp220 miliar karena Rp880 miliar dipergunakan sebagai utang baru petambak yaitu Rp80 juta/petambak sehingga pendapatan negara yang seharusnya Rp4,8 triliun menjadi tinggal Rp220 miliar atau negara dirugikan Rp4,58 triliun berdasarkan audit investigasi BPK RI.