REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan Republika
Darwin (47 tahun) tidak menyangka, keputusannya membuka bengkel mobil membuatnya tidak lagi pusing dalam memikirkan kebutuhan keluarganya sehari-hari. Sejak sekitar awal tahun ini, ia memberanikan diri untuk membuka bengkel berukuran 3x7 meter di Jalan Bengkong Nomor 4 Kelurahan Pedurenan, Kota Bekasi. Dia fokus membuka jasa layanan perbaikan mesin dan reparasi bodi mobil.
Darwin mengaku, kemampuan sebagai montir diperolehnya ketika mengikuti pelatihan di Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa (BBRSBD) atau Rehabilitasions Centrum (RC) dr Soeharso di Solo. Darwin mengaku, sejak sekolah dasar (SD) memang sudah tinggal di panti, karena berasal dari keluarga miskin. Dia berpindah-pindah dari satu panti ke panti lainnya, hingga akhirnya bisa mendapatkan ilmu di RC Dr Soeharso.
Sebagai seorang difabel, ia mengambil program perbengkelan karena memang gemar mengutak-atik mesin. "Sekarang pelanggan bengkel mobil saya banyak, malah saya sampai nolak karena terbatas tempatnya," ujar suami Sulika, yang mengalami disabilitas polio ini saat diwawancara Republika, belum lama ini.
Darwin mengatakan, modal membuka bengkel didapatnya dari menjual mobil miliknya. Tidak butuh waktu lama baginya, bengkelnya kini bisa mendapatkan pelanggan yang tidak sedikit. Karena itu, ia sudah dibantu tiga karyawan yang bertugas mereparasi bodi mobil hingga memperbaiki kendaraan yang mengalami turun mesin.
Dalam sehari, sambung dia, kapasitas bengkelnya bisa menyelesaikan pengerjaan empat mobil. Dia sendiri bisa menyelesaikan reparasi mobil, di luar gangguan mesin, dalam waktu sehari semalam. Darwin menyatakan, tidak ingin mengecewakan pelanggan sehingga mencoba menuntaskan permasalahan mobil secepat yang ia bisa.
Apalagi, lokasi bengkel yang masuk jalan tidak terlalu lebar membuatnya membatasi jumlah pelanggan. Dengan cepat menyelesaikan orderan maka pelanggan lain bisa menaruh mobil di bengkelnya. "Kita memang kendala di tempat. Tempat parkir gak cukup," katanya. Padahal, lanjut Darwin, kadang ada saja pelanggan yang ingin menaruh mobil di bengkelnya, namun akhirnya ditolak lantaran tenaga dan tempat penyimpanan mobil yang terbatas.
Menurut Darwin, menjadi montir seolah jalan hidup baru yang harus ditempuhnya. Dia mengungkapkan, penghasilannya kini jelas lebih dari cukup. Dia tidak lagi memusingkan kebutuhan keluarga maupun biaya pendidikan anaknya, karena hasil dari membuka bengkel sangat lebih dari cukup. Bahkan, ia boleh berbangga, karena kedua anaknya bisa menempuh jenjang hingga pendidikan tinggi.
Darwin menegaskan, meski termasuk orang yang mengalami keterbatasan, namun hal itu tidak membuatnya menyerah untuk bisa memberikan yang terbaik kepada keluarganya dan lingkungan sekitar. "Anak pertama saya bernama Listianingsih, sudah kerja sambil kuliah S2 di Semarang. Anak kedua bernama Wahyu Setibudi di Unila Lampung, kuliah di kampus negeri jalur undangan SMPTN," kata Darwin bangga mengisahkan capaian kedua anaknya.
Darwin mengatakan, penghasilannya dari usaha bengkel memang meningkat drastis dibandingkan saat masih berjualan mi ayam di sebuah kedai sederhana. Sebelum menekuni dunia perbengkelan, ia menjadi pedagang mi ayam yang dilakoninya dua tahun. Dia mengakui, ketika masih menjadi pedagang mi ayam, usahanya seolah tidak berkembang.
Hal itu dirasakannya karena pendapatan bulanan yang didapatkannya tidak besar. "Paling besar saya bisa dapat menyimpan uang (untung) Rp 1,5 juta per bulan," ucap Darwin yang merasa derajatnya terangkat setelah pemasukan meningkat drastis. Sejak fokus membuka bengkel, ia menyerahkan usahanya agar dikelola sang istri.
Tidak lupa, Darwin membagikan pengalaman dan ilmu yang didapatkannya ketika mengikuti pelatihan Reach Independence and Sustainable Entrepreneurship (RISE) di Islamic Center Bekasi pada 8-10 November 2017, kepada sang istri. Pelatihan yang diikuti sekitar 100 penyandang disabilitas dari Bekasi dan Depok tersebut diadakan Maybank Foundation.
RISE merupakan program pembinaan kewirausahaan (entrepreneur mentorship) dan keuangan bagi para penyandang disabilitas. Program ini meliputi pelatihan selama tiga hari dan dilanjutkan program mentoring terstruktur selama tiga hingga enam bulan.
Selama masa pelatihan, para peserta dibekali dengan pengetahuan pengelolaan keuangan, strategi pemasaran dan perubahan pola pikir (mindset) dalam mengelola usaha. Kemudian dalam program mentoring, mereka didampingi mentor secara personal untuk meningkatkan pendapatan dan kapasitas usaha yang selama ini digeluti.
Puluhan penyandang disabilitas di Kota Bandung mengikuti program pengembangan usaha yang digelar Maybank agar bisa mandiri. Pelatihan digelar di Gedung Indonesia Menggugat Kota Bandung, Rabu (4/7).
Menurut Darmin, berbagai materi pelatihan yang diikutinya seolah bisa membuka pandangannya yang sering meremahkan pencatatan keuangan. Dia mengungkapkan, selama ini kerap meremehkan berbagai jenis pengeluaran untuk berdagang mi. Pun ketika mendapat keuntungan, juga langsung dimasukkan ke kantong. Namun, hal itu tidak dilakukannya lagi. Baik usaha mi maupun bengkel sekarang dilakukan pembukuan setiap hari agar pengeluaran dan pemasukan terpantau jelas.
Hasilnya, pendapatannya kini melonjak berkali-kali lipat karena keuntungan dari berjualan mi dan pemasukan biaya servis mobil tercatat rapi. Pun dengan usaha jualan yang dijalani istrinya, kata Darmin, semakin ramai pembelinya setelah juga ditambah menu variasi berupa bakso dan batagor.
"Banyak pengalaman yang saya dapatkan dari pelatihan itu, terutama soal pengaturan keuangan untuk usaha mi ayam. Dan sebulan setelah pelatihan, saya punya gagasan mendirikan bengkel yang berkembang sampai sekarang," kata Darwin.
Lain halnya pengalaman yang didapat Paini yang berjualan kue kering. Perempuan yang berstatus tuna daksa ini sudah 10 tahun menggeluti dunia dagang. Dia merupakan difabel dengan kondisi jari tangan dan kaki yang tidak biasa. Rumah Paini yang berlokasi di Kelurahan Bojongmenteng, Kecamatan Rawalumbu, Kota Bekasi, sehari-hari digunakan sebagai tempat tinggal komunitas disabilitas.
Rumah tersebut juga menjadi sandaran hidup bagi teman-teman komunitasnya yang berjumlah 14 orang karena produksi makanan ringan juga dilakukan di situ. Paini merintis usaha kuenya dari membuat onde ketawa, yang termasuk di antara berbagai kue kering yang dibuatnya.
Dalam kesehariannya, Paini menjual dagangannya dengan cara door to door maupun dititipkan ke koperasi. Namun, kadang keuntungan yang didapatnya masih belum menggembirakan. Mirip dengan yang dialami Darmin, Paini juga memiliki kendala di pencatatan usahanya karena melibatkan komunitas disabilitas untuk produksi kue miliknya.
Dia pun kadang dipusingkan karena harus memberikan bayaran kepada mereka yang membantunya, sehingga pendapatan yang diterima tidak sesuai target. Paini menuturkan, ketika ada pelatihan RISE yang dikhususkan bagi penyandang disabilitas, ia bersama kelompoknya antusias ikut karena ingin mendapatkan ilmu baru.
Sebelum mengikuti pelatihan tersebut, Paini kerap mengalami kendala lantaran kue kering buatannya juga banyak dijual sejumlah pegiat UMKM yang ada di Kota bekasi. Beruntung, ia akhirnya mendapatkan perspektif baru dalam berjualan maupun pemasaran produk. Meski ada kenaikan penjualan dan pendapatan, ia tidak mau sombong, dengan mengatakan, pemasukannya kini meningkat. "Saya dapat pelatihan kewirausahan, terus manajemen keuangan, dan cara pemasaran online. Penambahan (pemasukan) masih standar Mas," ujar Paini.
Saat ini, Paini mengaku, lebih selektif dana mencataat pengeluaran maupun pemasukan dalam kaitannya dengan usaha yang digelutinya. Tidak seperti sebelumnya, yang kadang menganggap remeh berbagai pengeluaran, ia mulai menyadari bahwa semua lalu lintas keuangan perlu dicatat dengan tertib.
Selain itu, ia juga mengubah metode pemasaran dengan memerapkan metode menyebarkan kebaikan. "Sekarang mulai belajar mencatat keuangan biar ketahunan seberapa keuntungan, untung atau rugi. Cara pemasaran juga diubah, kita pakai trik senyum, sapa, salam, dalam berjualan," kata Paini yang dulunya merupakan karyawan pabrik.
Paini menuturkan, sebenarnya peluang mendapatkan keuntungan lebih besar bisa saja diraihnya. Hanya saja, pihaknya terkendala alat produksi karena kemampuan membuat kue kering masih terbatas. Pun dengan anak buahnya yang tidak bisa meningkatkan produksi kue kering lantaran lagi-lagi hanya bersandar dari orderan yang diterimanya. Padahal, ia punya mimpi ingin mengentaskan anak buahnya agar bisa mandiri sekaligus menciptakan lapangan kerja baru.
"Saya sendiri distributor kue, memang kemampuan baru bisa produksi jual, produksi jual. Alangkah bagusnya mungkin usai pelatihan, terus didampingi dan diberi modal. Karena banyak mereka yang tak ingin ikut saya terus," kata Paini merujuk anak buahnya yang ingin mandiri dalam berdagang.
Meski begitu, Paini tetap merasa beruntung, karena ada tim mentor yang melakukan pendampingan secara berkelanjutan. Dia pun mulai belajar bagaimana memasarkan produk secara daring. Hal itu lantaran saat ini keberadaan media sosial (medsos) membuat penjualan kue bisa menjangkau lebih luas dengan jumlah konsumen lebih besar. "Ini baru belajar (memasarkan di medsos)."
Untuk langkah terdekat, Paini ingin melebarkan sayap usahanya dengan menciptakan produk terbaru untuk dipasarkan. Dia berencana berdagang di GOR Badminton Bojongmenteng dengan menu yang khas. Paini berharap, dengan bekal ilmu pemasaran dan manajemen keuangan membuat usahanya yang sedikit mulai menunjukkan hasil positif bisa semakin berkembang hingga membuat penyandang disabilitas mampu berkarya dan mandiri.
"Kami ingin membuat makanan yang orang lain tidak bisa, pingin menciptakan ikon kami, saya ingin menciptakan pecel pincuk yang sambelnya murni ramuan saya," kata Paini yang asal Wonogiri dan sejak 1992 tinggal di Kota Bekasi ini.
Presiden Direktur Maybank Indonesia, Taswin Zakaria mengatakan, sejak dimulai pada 2016 hingga berakhir pada 2019, diproyeksikan pelatihan RISE dapat menjangkau 2.200 penerima manfaat di Indonesia. Dia menerangkan, pemberdayaan ekonomi merupakan salah satu fokus corporate responsibility perusahaan yang dipimpinnya.
Hal itu selaras dengan misi perusahaan humanising financial services, yang secara konsisten memberikan perhatian kepada individu maupun komunitas wirausaha penyandang disabilitas. "Yang bertujuan untuk meningkatkan semangat pantang menyerah, percaya diri, serta meningkatkan keterampilan hingga meningkatkan kapasitas usaha untuk mencapai masa depan yang mandiri dan sejahtera melalui program RISE," kata Taswin.
Dia berharap, program itu dapat membangun dan meningkatkan kapabilitas pelaku usaha kecil, sehingga dapat memberikan dampak positif bagi komunitas di sekitarnya. Taswin melanjutkan, sekali pun RISE akan berakhir pada 2019, tetapi pihaknya sedang mempersiapkan keberlanjutan dari program tersebut agar nantinya tercipta role model entrepreneur dari kalangan penyandang disabilitas. "Sehingga dapat memacu rekan-rekan lainnya untuk terus berjuang guna mencapai cita-cita yang mereka inginkan, kata Taswin.