REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) menargetkan partisipasi pemilih untuk pemilihan presiden (pilpres) sama seperti Pilkada, yakni sebanyak 77,5 persen. Target itu disebut sudah paling optimal dan realistis.
"Iya, 75 persen itu sebetulnya dalam pengalaman negara-negara demokratis itu sangat bagus sebetulnya," ujar Ketua KPU Arief Budiman di Monumen Nasional, Selasa (18/9).
Menurut Arief, dalam konteks negara paling demokratis sekalipun, angka partisipasinya kerap lebih rendah dari Indonesia. Hal ini karena masyarakat semakin banyak yang sadar untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak pilihnya sama sekali.
“Dengan kesadaran penuh itu, bukan karena intimidasi, bukan karena dilarang, bukan karena uang itu," ujar dia.
Arief mengatakan, justru jika partisipasi 100 persen maka ada kemungkinan negara tersebut tidak demokratis. Sebab, partisipasi tersebut dapat dicapai ketika negara mewajibkan pemilu.
Di Indonesia, ia mengatakan, Pemilu merupakan hak untuk memilih bukan wajib untuk memilih. “Ngara-negara yang wajib itu angka partisipasi bisa di atas 90 persen. Negara yang partisipasinya 100 persen biasanya negara itu, mohon maaf, otoriter. Semua takut dan patuh pada pemimpin," kata Arief menjelaskan.
Pantau Masalah DPT
Anggota Bawaslu Fritz Siregar di Posko Cemara, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (18/9). (Republika/Bayu Adji)
KPU sudah menetapkan data pemilih tetap (DPT) sebanyak 185.084.629 dalam negeri dan DPT luar negeri tercatat sebanyak 2.025.344 orang. Jumlah tersebut menyusut dari 185.732.093 untuk pemilih dalam negeri dan 2.049.791 orang untuk pemilih luar negeri.
Penyusutan ini setelah KPU melakukan perbaikan DPT. Secara bertahap, terjadi penyusutan angka sebesar 671.911 pemilih. Persoalan yang muncul dalam penyusunan DPT, yakni data pemilih ganda.
Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Fritz Siregar mengatakan, lembaganya terus melakukan pemantauan terkait permasalahan daftar pemilih tetap (DPT). Sebab, DPT terkait hak pilih masyarakat dalam menentukan pemimpin bangsa.
"Kita tetap melakukan pencermatan karena ini bagian melindungi hak pilih," kata dia di Posko Cemara, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (18/9).
Karena itu, kata dia, Bawaslu keras kepada pihak-pihak terkait untuk membereskan urusan DPT. Dengan begitu, masyarakat tidak kehilangan hak pilih dan proses logistik pemilu bisa berlangsung dengan baik.
Fritz mengatakan, jika mengacu pada Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang dapat memilih hanyalah masyarakat yang terdaftar di DPT dan juga yang memiliki KTP elektronik. "Dalam hal itulah Bawaslu cukup presisten DPT itu dapat dibersihkan," ujar dia.