Selasa 18 Sep 2018 12:48 WIB

Politik dan Persahabatan

Perbedaan pilihan politik pastinya menjadi sebuah keniscayaan yang tak terelakkan.

Abdullah Sammy
Foto: Republika/Daan Yahya
Abdullah Sammy

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Abdullah Sammy, Wartawan Republika/Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Sejarah Universitas Indonesia

Nilai persahabatan dalam politik merupakan ide yang sudah ada sejak sekitar 350 tahun sebelum Nabi Isa lahir ke bumi. Aristoteles menjadi peletak dasarnya.

Dalam karyanya tentang etika, Artistoteles menghabiskan dua buku khusus mengulas nilai-nilai persahabatan. Di sisi lain, Immanuel Kant yang hidup pada 1700-an setelah Masehi, hanya menghabiskan kurang dari satu halaman mengulas tentang persahabatan.

Hal tersebut menjadi salah satu bukti semakin memudarnya ide persahabatan dalam pemikiran era modern. Ini terutama di bidang politik. Nilai-nilai persahabatan dalam politik perlahan terpinggirkan dari arena.

Politik perlahan berubah menjadi arena saling hujat, saling umpat. Pada 2008, dua akademisi University of Notre Dame, John von Heyking dan Richard Avramenko, sempat melakukan kajian khusus membahas fenomena ini.

Kedua akademisi ini menilai, semangat politik liberal yang tumbuh subur di negara Barat tak selaras dengan nilai persahabatan.

"Pada saat bermulanya revolusi keilmuan, pada awal penyebaran prinsip universal tentang kebebasan, serta pada masa permulaan konsep perdagangan internasional, nilai persahabatan sebagai bagian dari politik semakin menghilang dari pandangan," tulis mereka dalam esai berjudul "Friendship and Politics".

Persahabatan kalah oleh individualisme. Hak-hak individu untuk bersuara dalam bidang politik tak diimbangi rasa kasih sayang, menghargai, dan kepedulian. Politik jadi penuh hak individual, tapi minus kewajiban komunal.

Banyak tokoh liberal, seperti John Rawls, yang menilai persahabatan bukanlah nilai moral politik. Namun, Thomas Jefferson memiliki pandangan yang berbeda. Saat pidato pelantikannya sebagai presiden Amerika, Jerfferson mengungkapkan, persahabatan dalam titik tertentu lebih penting daripada kebebasan.

“Mari kita memulihkan hubungan sosial yang harmonis dan kasih sayang, tanpanya kebebasan dan bahkan kehidupan itu sendiri hanyalah hal-hal yang suram,” ujar Jefferson dalam pidato inaugurasinya.

Pandangan pendiri Amerika ini menjadi titik balik tentang makna persahabatan dalam politik. Sebab, tanpa persahabatan, maka kebebasan berbicara, berekspresi, atau berkegiatan malah bisa berujung perpecahan.

Tanpa nilai persahabatan, politik akan diekspresikan orang per orang dengan penuh sentimen. Tanpa nilai persahabatan, setiap orang bebas berkegiatan politik yang sarat kebencian.

Tanpa nilai persahabatan, orang-orang akan menjadikan hak berbicaranya untuk 'meng-kampret' atau 'men-cebongkan' orang lain. Di Indonesia, tanpa disadari sentimen politik telah mengalahkan nilai-nilai persahabatan.

Data PolMark menyebutkan, 5,7 persen pertemanan di media sosial (medsos) rusak akibat Pilkada DKI 2017. Fenomena itu mesti segera diperbaiki. Kita semua harus menyadari, tujuan berpolitik sebagai bangsa adalah kesejahteraan sosial bagi seluruh Indonesia.

Baca Juga: Pilihan Politik Yusuf Mansur dan Tawaran Mengelola Dana Haji

Politik bukanlah tujuan, melainkan alat mencapai kesejahteraan sosial, tapi karena salah orientasi, politik kekuasaan malah menjadi tujuan. Karena tujuannya kekuasaan, nilai persahabatan pun digadaikan. Itulah konsep politik yang sempit.

Rasanya memang menjengkelkan melihat setiap hari medsos menjadi ajang mengekspresikan kebencian. Ini bukanlah cara yang baik untuk menatap masa depan.

Pada saat bangsa lain sudah berbicara jauh tentang prestasi masa depannya, kita malah masih berkutat pada perdebatan politik yang itu-itu saja. Saat negara, seperti Amerika, yang sudah berpikir tentang ekspedisi ke Mars, kita malah sibuk saling hujat bangsa sendiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement