Jumat 14 Sep 2018 21:25 WIB

KPK Hormati Putusan MA Soal Eks Koruptor Jadi Caleg

KPK mau tak mau harus menghormati putusan MA soal eks koruptor jadi caleg.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Bayu Hermawan
 Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Juru Bicara KPK Febri Diansyah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah menghormati putusan Mahkamah Agung (MA), yang mengabulkan gugatan uji materi tentang larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg). Sejak awal KPK berharap larangan tersebut bisa menyaring caleg yang bersih.

"KPK sebagai institusi penegak hukum mau tak mau harus menghormati institusi peradilan," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah di Gedung KPK Jakarta, Jumat (14/9).

Meskipun, sambung Febri, di awal KPK sangat berharap adanya perbaikan yang sangat signifikan yang bisa dilakukan bersama-sama untuk menyaring caleg agar tak terjadi lagi korupsi di DPR atau di DPRD.

"Karena, dimana untuk kasus yang diproses KPK untuk DPRD saja ada 146 anggota DPRD sudah diproses dan kemungkinan akan bertambah ada sepanjang ada bukti yang cukup. Dan ada lebih dari 70 anggota DPR. Dengan fenomena ini harapan ke depannya, parlemen kita DPR kita bisa lebih bersih sehingga bisa disaring sejak awal," ujarnya.

Menurut Febri, KPK akan melihat dulu apa yang bisa dilalukan ke depan. "Yang pasti KPK dengan kewenangnnya akan semakin mencermati tuntutan pencabutan hak politik sepanjang memang sesuai fakta sidang dan kewenangan KPK," katanya.

Sebelumnya, Juru Bicara MA, Suhadi, membenarkan jika pihaknya telah memutuskan mengabulkan gugatan uji materi tentang larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg). MA menegaskan jika aturan yang ada dalam PKPU Nomor 20 Tahun 2018 dan PKPU Nomor 26 Tahun 2018 itu bertentangan dengan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.

"Sudah diputus kemarin (Kamis, 13 September). Permohonannya dikabulkan dan dikembalikan kepada Undang-undang (UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017)," ujar Suhadi ketika dihubungi wartawan, Jumat (14/9).

Dengan demikian, maka aturan tentang pendaftaran caleg dikembalikan sesuai dengan yang ada dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Dalam aturan UU itu, larangan eks koruptor menjadi caleg tidak disebutkan secara eksplisit.

Suhadi kemudian menjelaskan tentang pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan MA. Pertama, MA memandang jika kedua PKPU bertentangan dengan aturan di atasnya, yakni UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.

"Selain itu, mantan narapidana kasus korupsi boleh mendaftar sebagai caleg asal sesuai ketentuan undang-undang pemilu dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK)," tegasnya.

Secara rinci, larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota tertuang dalam pasal 4 ayat (3) PKPU Nomor 20 Tahun 2018. Pasal itu berbunyi 'dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), (partai politik) tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi'.

Sementara itu, larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota DPD tertuang dalam pasal 60 huruf (j) PKPU Nomor 26 Tahun 2018. Pasal tersebut menyatakan, 'perseorangan peserta pemilu dapat menjadi bakal calon perseorangan peserta pemilu anggota DPD setelah memenuhi syarat bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi'.

Sejak Juli lalu, kedua aturan ini sama-sama digugat oleh sejumlah pihak melalui permohonan uji materi ke MA. Mayoritas penggugat adalah para eks koruptor yang berniat kembali maju sebagai calon anggota dewan  dan dirugikan dengan adanya kedua aturan ini.

Salah satu penggugat tersebut adalah Muhammad Taufik dari Partai Gerindra yang sudah mendaftarkan diri sebagai bakal caleg DPRD Provinsi DKI Jakarta untuk Pemilu 2019. Taufik menilai keberadaan PKPU Nomor 14 Tahun 2018 tidak sesuai dengan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement