Jumat 07 Sep 2018 05:01 WIB

Krisis 1998 dan Kenangan Klaim Fundamental Ekonomi Kuat

Semoga hal yang sama tak lagi terulang di masa depan

Suharto
Suharto

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.

Di tengah terpuruknya nila Rupiah terhadap dolar, kini menyeruak kembali kenangan akan suasana ekonomi dua dasa warsa silam, atau saat krisis ekonomi 1998. Kala itu terdengar keras pernyataan dari pejabat negara bahwa  ekonomi Indonesia mampu bertahanan dari badai krisis moneter.

Nah, kalau saat itu tudingan bila asal muasal krisis dari Thailand, kini tudingannya pun beral dari krisis di Argentina, Turki, hingga adanya perang dagang Cina versus Amerika Serikat. Mari pelan-pelan kita kenang kembali situasi krisis ekonomi 1998 itu.

"Fundamental ekonomi Indonesia kuat!'' Pernyataan Menteri Keuangan Kabinet Pembangunan ke VI Mari'e Muhammad pada pertengahan Juli 1997 sampai kini masih terngiang di telinga.

Bagi orang yang sempat menikmati masa itu, pernyataan Mari'e ini mendingingkan suhu perpolitikan Indonesia yang memanas. Krisis ekonomi yang saat itu merajam Thailand membayang di depan mata. Semua orang dag-did-dug sambil terus menerka-nerka apakah imbas krisis itu akan sampai ke Indonesia atau tidak.

Pernyataan Mari'e yang berasal dari hasil rapat ‘Dewan Moneter Indonesia’ itu kontan menjadi bahan pembicaraan. Salah satunya adalah ketika Mar'ie mengulangi lagi pernyataan ini dalam rapat dengar pendapat dengan DPR. Para wakil rakyat saat itu pun merasa lega atas peryataan Mar'ie. Politisi PPP di parlemen yang saat itu mengurusi soal APBN, Hamzah Haz, menyatakan hatinya menjadi 'plong'. ''Pokoknya semua yakin 'Indonesia akan baik-baik' saja,'' ujar Hamzah saat itu.

Sampai Juni 1997 itu, perekonomian Indonesia memang terlihat jauh dari krisis. Meski mulai ada demonstrasi, tapi eskalasinya masih kecil. Suasana politik dan keamanan stabil. Posisi Presiden Soeharto berada di atas angin dan menguasai keadaan.

Apalagi dalam Pemilu 1997, Golongan Karya selaku partai penguasa menang mutlak. Alhasil, Soeharto meski sudah mengaku 'TOP' (tua, ompong, dan peot) secara aklamasi melalui sidang MPR yang dipimpin Harmoko didukung untuk menduduki kursi kepresidenan kembali.

Cerminan kuatnya kondisi ekonomi Indnesia pada saat itu tampak pada rendahnya tingkat inflasi. Nilai perdagangan juga surplus hingga mencapai lebih 900 juta dolar. Persediaan mata uang asing pun memadai, bahkan mencapai dari lebih 20 miliar dolar AS. Pendek kata, semua dalam keadaan 'aman terkendali'.

                                           ******

Tapi, kondisinya ini tak berlangsung lama. Secara diam-diam, tak sekitar sebulan kemudian situasi krisis ekonomi mulai menular ke Indoneisa. Entah mengapa dolar naik begitu ngebut. Terdengar ada seorang pedagang valas dunia Goerge Soros memborong rupiah. Kurs rupiah terhadap dolar mulai saat itu jatuh secara gila-gilaan.

Situasi ini jelas mendapat perhatisan serius dari sang pemimpin Orde Baru, Soeharto. Dia mulai gelisah dan mempertanyakan mengenai munculnya kenyataan yang berbalikan. Soeharto tampak tak suka dan mulai geram terhadap suasana dan ketidakvalidan laporan pembantunya.

Untuk memecah kebuntuan, sejalan dengan mulai terasa dampak krisis ekonomi, pada saat itu Soeharto mulai mengajak dikusi beberapa ahli ekonomi yang selama ini menjadi kepercayaannya.

Namun, kini ada sedikit perbedaan. Soeharto tak hanya memanggil 'dedengkot' tim ekonomi Orde Baru Widjojo Nitisastro yang selama 30 tahun menemaninya. Saat itu, dia berusaha mencari second opinion di luar ekonom lulusan Universitas Indonesia atau yang selama ini dikenal dengan mazhab 'Barkley'-nya itu.

Soeharto pun kemudian mencari ekonom lain. Pilihannya jatuh kepada ekonom lulusan Universitas Gadjah Mada, yang saat itu sukses memimpin Direktorat Jenderal Pajak, yakni Fuad Bawazier.

Maka dalam beberapa bulan ke depan, dua orang ini seolah 'diadu jangkrik' untuk berdebat mengenai penanganan krisis ekonomi di depannya. Tak cukup dengan keduanya, belakangan dia juga mencoba mencari saran dari ekonom Amerika Serikat dari 'Johns Hopkin University Balltimore, Steve Hanke.

Fuad menceritakan secara rutin dia memang melakukan diskusi empat mata dengan Soeharto di masa berlangsungnya krisis ekonomi hingga sang penguasai ini turun pada Mei 1998. Sepanjang masa itu, Sorharto tampak kecewa berat ketika krisis ekonomi menghantam Indonesia.

Bukan hanya itu, dia pun sempat bertanya kepadanya: ''Fuad mengapa ini terjadi?''

''Ketika ditanya itu, saya pun jawab, ‘Pak sebenarnya Indonesia seharusnya terlebih dahulu terimbas krisis daripada Thailand. Ekonomi kita rapuh, Pak. Jadi, Bapak selama ini 'dibohongi'!'' kata Fuad.

Mendengar pernyataan itu, Fuad mengatakan, Soeharto sempat sedikit terkejut. Namun, itu hanya sesaat, setelah itu dia menyimak pernyataannya dengan sangat tenang, saksama, dan tentu saja sembari mengangguk-anggukan kepala.

Fuad mengatakan, hampir-hampir tak ada perubahan roman muka dari wajah Pak Harto ketika dirnya ngomong begitu. 

''Beliau cool saja. Kalaupun bertanya hanya berkata pendek: Oh begitu! Padahal, saya tahu persis pada saat itu juga lobi IMF kepada Pak Harto sangat luar biasa keras. Bukan melalui Pak Widjojo saja, petinggi lembaga IMF, bahkan beberapa kepala negara besar ikut-ikutan mendesak Pak Harto agar terima bantuan IMF,'' katanya.

Menurut Fuad, Presiden Bill Clinton dan Kanselir Jerman Barat Helmut Kohl sempat meneleponnya secara langsung. Bahkan, Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew saat itu juga ikut-ikutan mendesaknya.

''Clinton menelepon sampai dua kali. Suasana seperti ini berlangung selama sekitar empat-sampai lima bulan, atau sampai ditandatangani perjanjian dengan IMF pada 15 Januari 1998,'' kata Fuad Bawazier.

                                          

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement