REPUBLIKA.CO.ID, LOMBOK BARAT -- Sepinya tingkat hunian hotel akibat gempa selama sebulan telah mengancam keberlangsungan hotel-hotel di kawasan Senggigi, Kabupaten Lombok Barat (Lobar), Nusa Tenggara Barat (NTB). Sejak gempa pada Ahad (5/8), sebagian besar hotel di kawasan andalan Lombok itu sepi hunian.
Bahkan banyak yang memilih tutup untuk sementara. Dari pantauan yang ada, hanya beberapa hotel yang memilih bertahan untuk beroperasi. Salah satunya Kila Hotel. Menurut Manajer Pemasaran Kila, Fauzan Akbar, mereka tetap bertahan karena kerusakan di hotelnya hanya sedikit.
"Kami hanya mengalami kerusakan minor. Mungkin karena model bangunannya bungalow dan lebih banyak berbahan kayu," ujar Fauzan di Senggigi, Lobar, NTB, Kamis (6/9).
Sepinya okupansi membuat hotel harus mulai was-was. Fauzan mengaku pihak manajemen tetap harus menyiapkan rata-rata Rp 1 miliar per bulan untuk membiayai seluruh operasional hotelnya. "Kita sudah khawatir," ungkap Fauzan.
Fauzan menyebutkan tingkat okupansi kamar hotelnya tak lebih dari 50 persen. Kata dia, setiap hotel memiliki kebijakan manajemen sendiri. Untuk Kila Hotel tetap mempekerjakan secara normal para pegawai.
Senada dengan Kila, Hotel Aruna memilih tetap beroperasi karena juga mengalami kerusakan ringan dan hanya menerima tamu yang menggunakan 5 kamar dari 143 kamar yang mereka punya. Dua hotel tersebut memilih tetap beroperasi, walau harus mengeluarkan biaya operasional yang cukup besar. Ada beberapa hotel lainnya memilih tutup.
Senior Executive Sales Hotel Aruna Sofyan Hadi mengatakan, Hotel Aruna yang memilih tetap beroperasi dengan beradaptasi pada sisi mengefisiensikan pengeluarannya. "Walau tingkat hunian rendah, kami tidak memilih merumahkan para pegawai. Saat ini pun manajemen masih membutuhkan pekerjaan mereka," kata Sofyan.
Menurut catatan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Lobar, dari 192 hotel dari seluruh kelas setidaknya 117 hotel memilih tutup sementara, sisanya masih memilih beroperasi. "Tutupnya 117 hotel tersebut tentu berdampak pada pemanfaatan tenaga kerja. Rata-rata mereka terpaksa merumahkan sementara para pegawainya," ujar Kepala Bapenda Lobar, Lale Prayatni.
Ia menyampaikan, kawasan Senggigi yang biasanya pada Juli sampai Desember selalu ramai dengan wisatawan, kini menjadi sepi. Ini membuat banyak manajemen hotel meminta solusi kepada Pemkab Lobar seperti meminta dispensasi, penundaan, pengurangan, bahkan penghapusan pajak.
"Intinya kita harus bantu mereka. Termasuk dengan pemberitaan bahwa Lombok sudah aman dari gempa dan bagaimana mempromosikan lagi potensi wisata kita," ucapnya.
Mengenai keringanan tersebut, Lale mengaku sedang melakukan kajian. Dia menjelaskan, sepinya tingkat hunian hotel juga menjadi pukulan tersendiri pada sektor Pendapatan Asli Daerah (PAD) Lobar. Mestinya, kata dia, dari target total Rp 301 miliar PAD pada 2018 ini, sekitar Rp 129 miliar harus dipenuhi Bapenda Lobar.
"Akibat minimnya kunjungan wisatawan yang berdampak pada pendapatan pajak dan retribusi hotel, restoran, dan hiburan, kita mengestimasi akan kehilangan Rp 41 miliar dari target sektor pariwisata," katanya menambahkan.