Rabu 05 Sep 2018 14:35 WIB

KPK: Modus Korupsi Berjamaah Bisa Terjadi di Daerah Lain

KPK akan menguatkan pencegahan agar kasus tersebut tidak terjadi lagi.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Bayu Hermawan
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang memberi keterangan terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK di Blitar dan Tulungagung di gedung KPK, Jakarta, Jumat (8/6).
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang memberi keterangan terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK di Blitar dan Tulungagung di gedung KPK, Jakarta, Jumat (8/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang mengungkapkan, modus korupsi berjamaah yang terjadi di DPRD dan pemerintahan Kota Malang baik ekskutif maupun legislatif bisa jadi terjadi di daerah lain. Karenanya pasca kasus tersebut, KPK merekomendasikan pencegahan agar kasus tersebut tak terjadi di daerah lain.

"Modus-modus seperti itu bisa jadi terjadi di tempat lain, bisa jadi memang terjadi di tempat lain. Oleh sebab itu ke depan ini seperti apa rekomendasi kita untuk kemudian menjaga mereka. Jangan lupa ada orang-orang berintegritas juga di daerah," ujarnya di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (5/9).

Namun demikian, Saut enggan menyebut daerah yang kemungkinan terjadi modus korupsi berjamaah yang melibatkan unsur eksekutif dan legislatifnya. Menurut Saut, KPK baru dapat menyatakan tersebut, jika sudah ada bukti

"Tapi yang sudah kita bisa buktikan kan cuma satu daerah. Daerah lain seperti apa, kita enggak boleh menyebut itu. Kita harus pakai pertama pembuktian yang cukup," katanya.

Saut menilai persoalan integritas menjadi salah satu yang paling ditekankan kepada pejabat baik ekskutif maupun legislatif dan juga swasta untuk mencegah terjadinya korupsi tersebut. Sebab, sistem yang ada seperti e-budgeting, e-planing dan berbasis elektronik telah berupaya meminimalkan terjadinya korupsi tersebut. Karenanya, persoalan saat ini adalah masalah integritas dari pejabat itu sendiri.

"Kalian harus paham bagaimana eksekutif dan legislatif akan menentukan anggaran. Dalam proses itu kalau integritasnya terganggu kemudian lari ke hal-hal yang conflict of interestnya yang menonjol. Kalau conflict of interestnya yang menonjol kan bukan saja karena sistem," jelasnya.

Baca juga: Sebanyak 41 dari 45 Anggota DPRD Malang Tersangka Korupsi

Sebanyak empat anggota DPRD Kota Malang belum dijadikan terasangka kasus suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada Senin (3/9), KPK menetapkan 22 anggota DPRD Malang psriode 2014-2019 sebagai tersangka. Sebelumnya, 19 anggota DPRD Kota Malang sudah terlebih dahulu menjadi tersangka.

"Hingga saat ini dari total 45 anggota DPRD Kota Malang, sudah ada 41 anggota yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan di Gedung KPK, Jakarta, Senin (3/9).

Diketahui, KPK baru saja menetapkan 22 anggota DPRD Kota Malang sebagai tersangka suap terkait persetujuan penetapan Rancangan Peraturan Daerah (Perda) Kota Malang tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran 2015. Para anggota DPRD Kota Malang itu diduga menerima hadiah atau janji serta gratifikasi dari Wali Kota nonaktif Malang Moch Anton.

"Setalah melakukan proses pengumpulan informasi, data, dan mencermati fakta persidangan dalam perkara tersebut, KPK menemukan bukti permulaan yang cukup untuk melakukan penyidikan dengan 22 orang anggota DPRD Kota Malang periode 2014-2019 sebagai tersangka," ujar Basaria

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement