Senin 03 Sep 2018 08:43 WIB

Ambivalensi Partai Demokrat

Pengamat menilai Demokrat tidak sepenuhnya mendukung duet Prabowo-Sandi.

Logo Partai Demokrat
Foto: DOKREP
Logo Partai Demokrat

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Ali Mansur, Bayu Adji P

Partai Demokrat dinilai melakukan politik ambivalensi atau dua kaki dalam pemilihan presiden 2019. Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Brawijaya Malang, Anang Sudjoko, mengatakan, indikasi ambivalensi itu terlihat dari bergabungnya Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar alias Demiz ke dalam tim pendukung Joko Widodo-Ma'ruf Amin.

Apalagi, kata dia, Partai Demokrat tidak sepenuhnya mendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pada pilpres 2019. Bahkan, sebelum memutuskan berkoalisi, Partai Demokrat sempat berseteru dengan Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN).

"Jika Demiz sebagai ketua MPD Partai Demokrat secara terbuka mendukung aktif Jokowi-Ma'ruf maka bisa menjadi indikasi bahwa merekai memiliki ambivalensi politik," kata Anang saat dihubungi, Ahad (2/9).

Anang berpandangan, Partai Demokrat membiarkan Demiz masuk ke dalam kubu Tim Kampanye Nasional (TKN) Koalisi Indonesia Kerja (KIK) untuk menjaga peluang Partai Demokrat sebagai partner. Meski begitu, bisa jadi Partai Demokrat justru sedang memfilter kader-kadernya. 

"Yaitu dalam menguji kader-kadernya, di sini akan muncul mana kader yang loyal dan mana yang oportunis," kata Anang.

Namun, pembiaran itu atau tidak ada tindak lanjut dari partai juga bisa mengindikasikan bahwa Partai Demokrat tidak memiliki soliditas 100 persen. Ada kekhawatiran jika Demiz diberhentikan maka akan menyinggung kader lain, terutama kader yang selama ini menunjukkan kegamangannya untuk mengikuti kebijakan partai mendukung Prabowo-Sandi.

Sekali lagi, jika Partai Demokrat membiarkan Demiz ke tim Jokowi-Ma'ruf, itu menunjukkan kegamangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pilpres 2019. "Karena kebijakan Partai Demokrat masih menjadi wilayah SBY," ujar Anang.

Meski begitu, Anang menilai Demiz tidak terlalu signifikan mendulang suara untuk pasangan calon Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Maka, menurut dia, hal yang wajar jika kubu partai pengusung pasangan calon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tidak khawatir Demiz menjadi jubir lawannya. 

"Demiz sebenarnya tidak memiliki impact yang besar, lihat hasil pilkada Jabar kemarin," ujar Anang

Pada pemilihan gubernur (pilgub) Jawa Barat 2018, pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi hanya mendapatkan 5.663.198 suara atau 25,77 persen. Mereka kalah dari pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu yang memperoleh 6.317.465 suara atau 28,74 persen dan pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum yang mengoleksi 7.226.254 suara atau 32,88 persen.

Menurut dia, melambungnya Demiz karena mesin partai pengusungnya pada pilgub 2013 silam. "Demiz dulu muncul karena mesin partai PKS bekerja dengan baik," katanya.

Terkait beberapa langkah tim KIK mengambil orang-orang sebagai bagian dari tim, langkah itu memberi kesan adanya ketidakpercayaan diri atau lebih tepatnya kekhawatiran terhadap eksistensi positioning pasangan Prabowo-Sandi. Padahal, jika diamati, kubu pengusung Jokowi-Ma'ruf juga memiliki banyak tokoh potensial untuk mendulang suara pada pilpres 2019 nanti.

Elite Partai Demokrat yang memilih mendukung pasangan calon Joko Widodo-Ma'ruf Amin tidak hanya Demiz. Sebelumnya, Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) yang juga anggota Majelis Tinggi sekaligus Ketua DPD Partai Demokrat NTB secara terang-terangan mendukung Joko Widodo melanjutkan kepemimpinan untuk dua periode.

Pengamat politik Lingkar Madani Ray Rangkuti menilai politisi yang berpindah haluan dalam mendukung pasangan capres dan cawapres tidak punya ideologi. Menurut dia, alasan terbesar para politisi mendukung salah satu calon hanyalah demi kepentingan politik pribadinya. 

"Ini fenomena yang begitu menarik. Mungkin ada pertimbangan visi-misi. Tapi, lebih dari itu, pertimbangannya politik pragmatis," kata dia.

Menurut dia, keputusan Demiz beralih dukungan ke pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin karena menilai pasangan pejawat lebih berpotensi menang. Dengan begitu, kata dia, karier politik Deddy Mizwar lebih terjamin. "Dengan alasan pragmatis itulah mereka pindah haluan. Yang mereka kejar adalah dia dapat apa," kata dia.

Ia menjelaskan, itu merupakan sebuah kewajaran dalam dunia politik. Menurut dia, tokoh yang lebih agresif dan merangkul banyak pihak akan lebih banyak mendapatkan dukungan. Ia mengakui kemampuan Jokowi-Ma'ruf bersama timnya dalam merangkul semua pihak. 

"Selain kemampuan merayu dan menjanjikan, yang lebih penting itu menjelaskan politisi ini tidak ada ideologinya," ujar dia. 

Deddy Mizwar sudah mengakui memang ditawari menjadi jubir pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin oleh Tim Kampanye Nasional pasangan tersebut. Deddy Mizwar sendiri merupakan kader Partai Demokrat yang saat ini mendukung pasangan Prabowo-Sandiaga Uno.

"Jadi jubir, Insya Allah, jika diizinkan Allah. Tapi kan belum pasti ini masih dibahas," ujar Deddy Mizwar yang akrab disapa Demiz kepada wartawan, Selasa (28/8).

Demiz enggan berkomentar alasan mengapa mau menerima tawaran menjadi jubir. Karena, semuanya harus jelas atas dasar apa ia ditunjuk.

"Harus jelas dasarnya apa memilih saya. Ini nggak ada surat apa pun jadi ya baru proses."

Demiz menyatakan memang Tim Kampanye Nasional pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin sudah ada yang datang pada dirinya. Tetapi, harus jelas dulu dan dibahas dulu apa kewenangannya serta kewajibannya apa.

(ed: ilham tirta)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement