Ahad 26 Aug 2018 11:31 WIB

Gerakan Pasca-Idul Adha

Ketika manusia cinta dunia secara berlebihan, mereka tak pernah puas diri meraihnya.

KH Haedar Nashir (Ilustrasi)
Foto:

Kata ahli hikmah, musuh terbesar manusia itu ialah dirinya. Karena mengejar hasrat dunia melebihi kewajaran, manusia kemudian mengidap penyakit ta’bid ‘an al-nafs (diperbudak diri) dan ta’bid ‘an al-dunya (membudakkan diri kepada dunia).

Allah berfirman yang artinya, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).” (QS Ali Imran: 14).

Sejarah manusia sesungguhnya dimulai dari pertarungan hidup menaklukkan segala hasrat dan kepentingan diri dan angkara dunia di tengah relasi orang lain dan lingkungannya. Dalam Alquran Allah mengingatkan yang artinya, “Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24).

Qabil putra Adam tega membunuh saudaranya, Habil, demi kepentingan diriya. Fir’aun sewenang-wenang memperlakukan orang lain, bahkan karena kecongkakannya Raja Ramses itu menyatakan diri sebagai “tuhan yang mahatinggi”. Qarun yang konglomerat selain pelit juga rakus menghisap orang lemah dan menguasai kekayaan publik secara semena-mena.

Sementara, Hammam di zaman kekuasaan bani Israel itu menunjukkan karakter sebagai pejabat korup dan menyalahgunakan kekuasaannya demi kepentingan dirinya sehingga jabatannya tidak menyejahterakan rakyatnya.

Bahwa setiap insan beriman akan naik tangga ke puncak keutamaan tertinggi jika sukses menaklukkan diri dan dunianya demi sesuatu yang lebih luhur dan hakiki. Mana mungkin ketiga insan kekasih Tuhan itu rela hati berkorban nyawa Ismail jika mereka masih terbelenggu oleh ego diri dengan segala kepentingannya yang ragawi?

Mereka adalah insan yang terbebaskan dan tercerahkan dari hasrat egoisme yang naif, kemudian menjelma menjadi para altruis yang selalu peduli dan berbagi untuk kepentingan orang banyak.

Tatkala bangsa ini masih dililit problem kesenjangan sosial dengan segelintir orang atau kelompok kecil menguasai bagian terbesar kekayaan negeri. Tatkala korupsi, konflik sosial, dan perilaku aji mumpung masih menjadi pemandangan umum.

Bahkan ketika sebagian pembawa misi agama bergairah berebut takhta dan keagungan dunia. Sesungguhnya sumber utamanya karena hasrat duniawi yang berlebihan. Hasrat duniawi yang melampaui takaran itu yang mesti disembelih oleh setiap insan beriman ketika berkurban.

Ketika manusia cinta diri dan dunia secara berlebihan, mereka tak pernah puas diri meraih kedigdayaan dunia hingga ajal memisahkannya (QS at-Takatsur: 1-2). Tidak kenal tua maupun muda, bahkan siapa pun, makanala cinta kuasa dan dunia sudah menyala-nyala dalam diri manusia, maka segala cara ditempuh dan dihalalkan.

Mereka secara lahiriah tampak perkasa di hadapan orang lain, tetapi sejatinya menjadi orang lemah karena menjadi budak dunia!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement