Ahad 26 Aug 2018 11:31 WIB

Gerakan Pasca-Idul Adha

Ketika manusia cinta dunia secara berlebihan, mereka tak pernah puas diri meraihnya.

KH Haedar Nashir (Ilustrasi)
Foto: Republika/Da'an Yahya
KH Haedar Nashir (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Haedar Nashir

Berapa juta orang telah berkurban di negeri ini? Berapa puluh juta pula hewan kurban disembelih di Hari Adha yang penuh keutamaan itu? Jika ditarik ke ranah dunia Muslim di kancah internasional, hitungannya tentu ratusan juta jiwa dan ekor. Suatu jumlah bilangan yang tentu saja menakjubkan!

Lalu, pasca-Hari Raya Adha tersebut, hikmah apa yang mesti diambil dari ritual ibadah yang menyejarah dan selalu aktual bagi kehidupan kaum Muslim itu? Tentu bukan ritual dan kemanfaatan formalnya belaka. Apalagi berhenti pada kemeriahan sosial untuk menunjukkan makin besar jumlah orang berkurban dan hewan kurban yang disembelih.

Ketika pada Hari Raya Adha ini Komisi Pemberantasan Korupsi sempat menersangkakan pejabat. Pun untuk hari, bulan, dan tahun-tahun sebelumnya maupun mungkin untuk masa-masa ke depan. Ketika suasana politik pra-2019 makin menghangat untuk saling berebut kuasa politik dengan hasrat yang merah menyala. Boleh jadi perlu ada sesuatu yang harus disembelih secara massal dan masif di negeri ini.

Jika korupsi masih berketiak ular di republik ini. Tatkala ambisi mengejar dan mempertahankan takhta kuasa masih menjadi sangkar-besi yang meluas tanpa menghayati untuk apa kekuasaan yang diperebutkan itu, bahkan tidak jarang dengan mengatasnamakan agama dan mentransaksikannya atas nama Tuhan. Manakala elite dan warga masih banyak yang lebih mementingkan kepentingan diri, kroni, dan golongannya sendiri di atas hajat hidup rakyat dan umat manusia yang lebih luas.

Agaknya spirit utama Idul Adha harus terus digelolarakan sampai kapan pun, tidak berhenti di hari nahar dan hari tasyrik. Perlu gerakan besar-besaran menyembelih hasrat-hasrat duniawi yang menyandera nilai-nilai dan kepentingan luhur kehidupan umat dan bangsa, lebih dari ritual formal ibadah yang mengajarkan makna pengorbanan sejati ala Ibrahim, Ismail, Siti Hajar, dan tentu uswah hasanah Nabi Akhir Zaman nan utama itu!

Gerakan kebajikan

Hewan kurban itu hanya simbol. Selain kemanfaatan dagingnya untuk dikonsumsi dan dibagikan, tidak kalah pentingnya ialah menjadikan diri setiap Muslim makin bertakwa. Bukankah Allah berfirman yang artinya: “Daging-daging dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.“ (QS Al-Hajj : 37).

Pada suatu hadis disebutkan bahwa Zaid Ibn Arqam, ia berkata atau mereka berkata, “Wahai Rasulullah SAW, apakah kurban itu?” Rasulullah menjawab, “Kurban adalah sunahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim.” Mereka bertanya, “Apa keutamaan yang kami akan peroleh dengan kurban itu?” Rasulullah menjawab, “Setiap satu helai rambutnya adalah satu kebaikan.” Mereka bertanya lagi, “Kalau bulu-bulunya?” Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai bulunya juga satu kebaikan.” (HR. Ahmad dan Ibn Majah).

Kurban menjadi media pengorbanan diri setiap Muslim untuk menjadi insan yang semakin bertakwa yang selalu memupuk dan menebarkan kebaikan bagi diri, keluarga, dan lingkungan. Jika kehidupan di negeri makin kaya dengan nilai-nilai ruhaniah yang mulia dan terwujud dalam kehidupan maka kurban pada Hari Adha tentu membekas dan mengaktual dalam kehidupan Muslim dan bangsa Indonesia.

Mereka yang telah berkurban makin kuat habluminallah-nya sehingga menjadi insan yang saleh, zuhud, dan berjiwa muraqabah atau merasa selalu diawasi Allah. Mereka tidak akan berani berakal bulus, menyimpang, arogan, korupsi, menyalahgunakan kekuasan, sewenang-wenang, dan berbuat buruk atau nista, baik terbuka maupun terselubung. Negeri ini akan aman, damai, dan bebas dari segala kemunafikan karena para hambanya yang beriman benar-benar mengaktualisasikan ketakwaan secara autentik.

Karena itu, setiap Muslim yang telah berkurban mengandung makna ruhani dirinya menanam dan menebar benih kebaikan selain untuk dirinya, yaitu untuk sesama umat manusia. Mereka konsisten menanamkan jiwa peduli, berbagi, dan beramal kebajikan, lebih-lebih untuk orang-orang yang membutuhkan. Termasuk bagi saudara-saudara sebangsa di NTB maupun di tempat lain yang tengah ditimpa musibah. Kembangkan solidaritas sosial yang memupuk persaudaraan, toleransi, perdamaian, dan kebersamaan yang tulus sebagai sesama anak bangsa.

Muslim pasca-Idul Adha juga mengembangkan kebiasaan gemar menolong, berbagi rizki, melapangkan jalan orang yang kesulitan, mengentaskan mereka yang lemah, membela orang yang terzalimi, suka meminta dan memberi maaf, mengedepankan kepentingan orang banyak, dan berbagai kebaikan sosial yang utama.

Sebaliknya, hindarkan diri dari segala bentuk kerakusan yang merugikan orang lain dan menimbulkan kerusakan hidup, seperti korupsi, gratifikasi, eksploitasi alam, monopoli, oligopoli, kejahatan kerah putih, politik uang, serta segala tindakan amoral dan asosial.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement