Jumat 24 Aug 2018 19:36 WIB

Bio Farma: Butuh 20 Tahun untuk Membuat Vaksin MR

Vaksin Rubella masih tahap pengembangbiakkan sel, sedangkan Measles sudah ada.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Andi Nur Aminah
Petugas memberikan vaksin Measless Rubella (MR) kepada pelajar saat acara Pencanangan Kampanye Imunisasi MR di Madrasah Tsanawiah 10, Sleman, DI Yogyakarta, Senin (1/8).
Foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko
Petugas memberikan vaksin Measless Rubella (MR) kepada pelajar saat acara Pencanangan Kampanye Imunisasi MR di Madrasah Tsanawiah 10, Sleman, DI Yogyakarta, Senin (1/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Biofarma mengklaim untuk membuat sebuah vaksin dibutuhkan sekitar 20 tahun. Ini jika selama proses dari awal berjalan dengan lancar hingga produk tersebut bisa dipasarkan secara luas.

"Butuh waktu lama bagi kita untuk membuat vaksin khususnya Rubella. Untuk Measles atau campak kita sudah punya. Rubella kita masih tahap pengembangbiakkan sel. Untuk mengembangkan vaksin Rubella minimal 15 sampai 20 tahun riset," ujar Bambang Heriyanto selaku Coorporate Secretary Bio Farma di Kantor Republika, Jumat (24/8).

Bambang menyebut ketika pemerintah meminta Bio Farma menyiapkan vaksin untuk memerangi campak dan Rubella atau MR, pihaknya masih belum siap. Karena itu pihaknya pun berusaha mencarikan alternatif industri lain yang sudah mampu dan terbukti dalam melawan MR.

Saat melakukan pencarian, Bio Farma pun menemukan dua kandidat yakni negara Cina dan India. Namun pilihan jatuh kepada India karena melihat catatan kualitas, kemampuan penyediaan atau suply, dan sertifikasi di WHO.

"Vaksin dari India atau SII ini sudah digunakan sejak 1989. Ini juga diekspor di negara Islam yang tercatat di OKI seperti Afghanistan, Iran, Iraq, Libya, Lebanon, dan Tajikistan," ucapnya.

Baca: Kemenkes Tunggu Bio Farma Produksi Vaksin Halal

Menganai status halal dan haram, pihak Bio Farma pun telah mendorong SII untuk melakukan sertifikasi. Hal ini direspons positif oleh mereka dengan mengirimkan dokumen data proses pembuatan vaksin MR ke badan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).

Dari data tersebut, pihak MUI melakukan kajian dan mengeluarkan fatwa. Memang dalam proses pembuatannya menggunakan salah satu turunan babi yaitu tripsin. Namun tripsin ini tidak terkandung dalam hasil akhir vaksin, hanya bersinggungan saat proses pembuatannya.

"Sel-sel hidup yang akan jadi wadah virus Rubella ini dikembangbiakkan dulu dalam suatu wadah. Ketika sel-sel ini siap, mereka lengket ke tempat hidup mereka. Jadi untuk memisahkan, dibutuhkan tripsin. Tapi kemudian tripsin ini dihilangkan dan dicuci bersih berkali-kali. Karena jika ada sel yang masih mengandung tripsin, virus Rubella pun tidak bisa hidup," ujar Bambang.

Usaha Bio Farma untuk mencari alternatif tripsin babi ini pun terus dilakukan, salah satunya menggunakan tripsin trikombinan. Namun sayang, hasil yang didapat tidak maksimal.

Bambang pun meyakinkan jika kandungan unsur turunan babi ini tidak lagi berada dalam sel vaksin yang diberikan bagi anak-anak usia sembilan bulan hingga 15 tahun. SII dan Bio Farma pun terus berusaha mencari alternatif lain dan mendorong agar sertifikasi halal bisa diberikan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement