REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Status tanggap darurat bencana gempa bumi di Lombok, NTB akan berakhir pada Sabtu (25/8). Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, kemungkinan status masa tanggap darurat bencana diperpanjang lagi.
“Ada kemungkinan diperpanjang lagi tentu dalam hal ini melalui rapat koordinasi,” kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam konferensi pers di Grha BNPB, Jakarta Timur, Selasa (21/8).
Sutopo mengatakan, biasanya, perpanjangan atau tidak ditetapkan sehari sebelum masa tanggap darurat berakhir. Seperti diketahui, awalnya masa tanggap darurat Lombok ditetapkan hingga 11 Agustus 2018. Kemudian, pemerintah provinsi NTB memperpanjang status tanggap darurat hingga 25 Agustus 2018.
Menurut dia, jika masa tanggap daruat diperpanjang kemungkinan selama tujuh hari. Sebab, dilihat dari proses evakuasi masih menyisakan beberapa masalah teknis. Seperti misalnya distribusi bantuan yang belum maksimal dan kebutuhan masyarakat yang terus bertambah, termasuk masalah sanitasi.
Adapun, proses evakuasi pencarian korban sudah tidak ada lagi. Namun, semua keputusan kembali kepada putusan Gubernur NTB selaku penanggung jawab utama penanggulangan bencana di Lombok.
“Kalau tidak (diperpanjang), kita masuk ke masa transisi darurat lalu menuju ke pemulihan,” kata Sutopo.
Masa transisi darurat memakan waktu sekitar tiga hingga enam bulan. Salah satu hal penting yang disiapkan selama masa transisi adalah kebutuhan pendanaan yang begitu besar.
Sementara itu, proses pemulihan yakni rehabilitasi dan rekonstruksi maksimal dua tahun. Pada masa pemulihan akan dilakukan pembangunan ulang dengan teknologi Rumah Instan Sederhana Sehat atau Risha.
Rumah rusak berat akan mendapatkan bantuan Rp 50 juta, rusak sedang Rp 25 juta, dan rusak ringan Rp 10 juta. Proses pembangunan akan menjadi tanggung jawab masyarakat. Namun, didampingi oleh Kementerian Pekerjaan umum dan Perumahan Rakyat sebagai fasilitator.
Rentetan gempa bumi yang terjadi sejak 5 Agustus 2018 hingga 19 Agustus 2018 telah menimbulkan korban meninggal dunia sebanyak 515 orang. Sebanyak 513 merupakan warga NTB dan dua orang di Denparas, Bali. Korban luka-luka mencapai 7.145 orang dan pengungsi sekitar 431 ribu orang. Sebanyak 786 unit fasilitas umum dan sosial turut rusak.
Sutopo menambahkan, penanganan gempa yang semula berpusat di wilayah Lombok diperluas hingga ke wilayah Sumbawa. Sempat rentetan pusat gempa makin lama semakin ke arah timur. Meski demikian, Sutopo menegaskan tidak ada pihak yang bisa memprediksi apakah pusat gempa akan semakin bergeser ke timut atau tidak.
“Sejauh ini, belum ada teknologi yang bisa memastikan kapan terjadinya gempa. BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) dan BNPB terus melakukan pemantauan secara intensif,” katanya.
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menegaskan penanganan bencana gempa di Lombok sama seperti penanganan bencana nasional. Meskipun, gempa Lombok tidak ditetapkan sebagai bencana nasional.
"Cara penangannya adalah sama dengan bencana nasional, sama kalau di Aceh dulu bencana nasional itu karena kita tidak sanggup, tapi sekarang insyallah sanggup untuk untuk mengatasi," kata JK di sela-sela tinjauan ke posko pengungsi di Desa Kekait, Gunung Sari, Lombok Barat, Selasa (21/8).
JK beralasan, gempa Lombok tidak ditetapkan sebagai bencana nasional karena Pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota masih berfungsi. Hal ini berbeda dengan gempa Aceh pada 2004 silam yang seluruh pemerintah daerahnya lumpuh.
"(Saat ini) tidak perlu minta bantuan dari luar, pemerintah gubernur dan bupati masih jalan, kalau bencana nasional itu kalau bupatinya itu nggak jalan," ujar JK.