Selasa 14 Aug 2018 13:34 WIB

Persaingan dan Prestise Politik : Ulama Priyayi?

Pemilu senantiasa menjadi titik kulminasi pertempuran pengaruh para elit keagamaan

Gambar Sunan Pakubuwono X mengunjungi Kampung Luar Batang tahun 1920-an.
Foto: Gahetna.nl
Gambar Sunan Pakubuwono X mengunjungi Kampung Luar Batang tahun 1920-an.

Oleh Akhmad Danial, Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta dan Alumni Ponpes Darunnajah

Jika saja Prabowo menunjuk calon wakil presidennya dari kalangan Ulama, maka akan terjadi “pertempuran” antar Ulama karena rivalnya, Presiden Jokowi juga menunjuk wakilnya dari kalangan Ulama, Rais Aam PB NU yang juga Ketua Umum MUI, KH Ma’ruf Amin. Demikian opini viral di media sosial belakangan ini. Bahkan disebutkan, Prabowo sendiri mengajukan alasan itu sebagai dasar penunjukan Sandiaga Uno sebagai Cawapres.

Kotroversi muncul karena Prabowo dinilai tidak mengindahkan rekomendasi Ijtima’ Ulama, event yang didukung Habib Rizieq Syihab, tentang dua Ulama sebagai Cawapresnya, Ustadz Abdul Shomad dan Habib Salim Segaf Al Jufri. Sebelumnya, muncul kontroversi timpang tindih status keulamaan dan politisi dari Tuan Guru Bajang, Gubernur NTB yang hafidz al-Qur’an dan Doktor Tafsir lulusan Universitas Al-Azhar, Mesir, yang mendukung Jokowi

Dalam kenyataan faktual dan historisnya, Ulama senyatanya bukanlah entitas monolitik dan a-politis. Terdapat berbagai jenis Ulama, yang bisa dibedakan dari beragam faktor seperti posisi sosial, orientasi keagamaan maupun organisasinya. Karena merupakan entitas majemuk, keterpecahan Ulama secara sosial dan politik merupakan satu keniscayaan. Hal itu merupakan realitas faktual yang terjadi saat ini dan memiliki dasar sejarah panjang.

Ulama Priyayi

Dalam kaitan dengan birokrasi pemerintahan, penjelasan Kuntowijoyo (1991) tentang “elit agama birokratik” yang disebutnya Priyayi dengan “elit agama tingkat desa” yang disebutnya Santri menarik untuk menjelaskan pola konflik internal kalangan Ulama, utamanya di masyarakat Jawa. Namun sebelum membahas konflik dua jenis “elit agama” itu, perlu kita pahami terlebih dulu bagaimana agama ditangani dalam masyarakat Jawa.

Di Jawa, kepemimpinan komunitas Islam, khususnya di pedesaan, ditangani para elit agama yang terdiri dari para guru agama (kerap disebut ustadz), para haji dan juga Kyai. Sifat kepemimpinan mereka informal, namun mereka “dibebani” sejumlah tanggungjawab kemasyarakatan seperti mendidik agama, memimpin ritual keagamaan, memberi pelayanan sosial seperti mengurus jenazah, memberi nasehat keagamaan, menyelesaikan sengketa bahkan menyembuhkan orang sakit.

photo
Perayaan Sekaten (Garebeg) zaman dahulu: Di sini peran ulama, priyayi, raja,  dan pejabat penguasa kolonial bersatu menjadi latar sebuah perayaan Maulud Nabi di keraton Mataram Islam.

Para elit agama di pedesaan ini juga kerap dijadikan tempat pengaduan aspirasi kepentingan masyarakatnya vis a vis pihak luar, khususnya ke birokrasi. Karena fungsinya sebagai “jembatan” ini, hubungan elit keagamaan ini dengan birokrasi kerap bersifat dualistik. Di kerajaan Mataram, dikabarkan raja sering meminta sejumlah Ulama mendampinginya meditasi dengan imbalan tanah puluhan are. Namun di sisi lain, pusat-pusat keagamaan di sejumlah wilayah pernah menjadi sarang pemberontakan para penguasa Mataram.

Yang pasti, sejak abad ke-17, di kerajaan Mataram berkembang elit agama birokratik yang disebut reh-penghulon (penghulu). Elit ini muncul di masjid-masjid dan bertanggungjawab atas urusan keagamaan di wilayah sesuai hirarkinya. Penghulu tertinggi memimpin masjid kerajaan di Ibukota. Dia memperoleh gelar dari kraton dan juga gaji. Penghulu di level lebih rendah di desa-desa, hidup dari uang zakat, zakat fitrah dan biaya pernikahan dan menjadi bagian dari birokrasi desa.

Kuntowijoyo mencatat, di abad ke-19, lembaga reh-penghulon ini mencapai kemapanannya. Di kerajaan-kerajaan Surakarta, Yogyakarta dan kerajaan-kerajaan kecil di Madura, para penghulu, seperti juga jaksa, menjadi bagian dari sistem peradilan. Dan saat pemerintah kolonial membentuk Priesterraad (semacam Majelis Ulama) dalam Landraad (lembaga peradilan kolonial), para penghulu ini menjadi bagian dari birokrasi kolonial. Karena begitu terlibat dalam urusan-urusan Negara, penghulu dan naib lebih dianggap sebagai Priyayi.

Ulama-Priyayi ini memiliki posisi dualistik. Di kalangan Priyayi mereka dianggap elit agama namun di kalangan elit agama, mereka dianggap sebagai Priyayi. Sementara “Negara” memposisikan mereka sebagai Ulama, tetapi citra mereka di kalangan elit agama tidak lagi dianggap sebagai representasi “Ulama murni”. Mereka lebih dipandang sebagai representasi elit Kraton atau birokrasi kolonial dengan segala kepentingannya. 

Elit Agama Tingkat Desa

Di luar Ulama Priyayi yang menjadi bagian dari mesin birokrasi kerajaan dan pemerintah kolonial, kepemimpinan agama di wilayah-wilayah pedesaan tetap dipegang oleh kalangan pengajar agama (Ustadz), para Haji dan Kyai “bebas”. Para Ulama non-negara ini cenderung berwatak ideologis dan menjadi sumber perlawanan atas otokrasi kerajaan dan watak penindasan dalam beragam kebijakan pemerintah kolonial.

Sebagai implikasi sikap melawan feodalisme dan kolonialisme itu, para elit agama non-birokrasi ini memiliki sikap negatif terhadap para Ulama Priyayi yang dianggap sebagai bagian dari birokrasi kerajaan dan pemerintahan “kafir” kolonial. Sosok paling representatif dari kelompok ini, karena direkam dalam beragam karya tulis, adalah pahlawan nasional KH Ahmad Rifai dari Kalisasak yang pandangan-pandangannya dianggap sebagai contoh protes sosial yang meresahkan tidak saja pemerintah kolonial namun juga para Ulama Priyayi.

KH Rifai, ironisnya, adalah putra seorang Penghulu. Gerakan protesnya, kemungkinan, didapatnya ketika dia ke Mekkah pada tahun 1816, saat usianya 30 tahun. Seperti lazimnya saat itu, para haji tidak langsung pulang. KH Rifai bermukim di Mekkah selama 20 tahun untuk mendalami berbagai ilmu agama diantaranya dari Syaikh dan Syaikh Faqih Muhammad ibn Abd al-Aziz. Setelahnya dia pergi ke Mesir, tinggal selama 12 tahun mendalami kitab-kitab fiqh mazhab Syafi‟i. Di antara gurunya adalah Syaikh al-Bajuri, pengarang kitab al-Bajuri

Doktrin protesnya terhadap pemerintah kolonial, didasari argumentasi bahwa pemerintah kolonial Belanda adalah kafir. Dia juga menganjurkan para pengikutnya untuk berjuang menyelamatkan Jawa khususnya dan Indonesia umumnya lewat perang sabil yang menurutnya sangat besar pahalanya. Pernyataan ini dapat dilihat dalam kitabnya, Nazam Wikayah atau Abanul Hawaij. Uniknya, tidak ada gerakan fisik yang berupa pemberontakan. Gerakan protes KH Rifai disebar lewat karya-karya tulis dan pengajaran lisan.

K.H. Ahmad Rifa‟i juga mengajarkan doktrin protes pada para birokrat feodal dan tradisional yang masuk menjadi bagian mesin pemerintah kolonial, termasuk pada para Ulama Priyayi. Dalam kitab Targhib, dia mengecam para Ulama dan haji yang disebutnya fasik karena menolong dan menjadi hamba “raja kafir” Belanda. Orang-orang ini dipandangnya munafik dan tidak mempunyai keimanan. Karenanya, nikah dan shalat Jumat yang dipandu para Ulama Priyayi dianggapnya tidak sah.

Kuntowijoyo mengutip kesaksian G.F Pijper (1985) yang menyatakan, konsekuensi logis dari munculnya dua jenis elit keagamaan ini adalah lahirnya persaingan politik. Dalam persaingan itu, Pijper mencatat bahwa para guru agama (Ustadz), lebih memiliki prestise dibanding para Penghulu atau Ulama Priyayi. Merosotnya prestise para Ulama Priyayi itu terjadi karena berlangsungnya proses sekulerisasi di kalangan Priyayi terjadi bersamaan dengan meningkatnya kesadaran identitas kaum Muslim Indonesia di abad ke-19.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement