Selasa 14 Aug 2018 13:34 WIB

Persaingan dan Prestise Politik : Ulama Priyayi?

Pemilu senantiasa menjadi titik kulminasi pertempuran pengaruh para elit keagamaan

Gambar Sunan Pakubuwono X mengunjungi Kampung Luar Batang tahun 1920-an.
Foto:
Santri di Jawa pada jaman dahulu.

Belajar dari konflik Ulama Priyayi dan Ulama Desa di masa lampau, maka Pemilu  senantiasa menjadi titik kulminasi pertempuran pengaruh para elit keagamaan. Hal itu tidak bisa terelakkan dan merupakan realitas yang harus diterima umat Islam. Karena sebagai bagian dari entitas elit di masyarakat, Ulama bukanlah kelompok yang terbebas dari politik. Mereka senantiasa memiliki sikap politik yang didasari kepentingan politik kelompok yang diayominya sebagai patron, Sejarah telah membuktikan itu.

photo
Santri sebuah pondok pesantren sedang mengaji bersama.

Karenanya, tidak ada jaminan bagi setiap elit politik yang merekrut ulama sebagai pendampingnya untuk bisa memenangkan pertempuran politik. Hasil maksimal yang mungkin diperoleh adalah memenangi suara dari kelompok yang menjadi klien Ulama bersangkutan. Komunitas di luar Ulama tersebut tetap menjadi wilayah bebas para Ulama lain yang memiliki sikap dan kepentingan politik berbeda. Dalam posisi inilah, kita mendudukkan posisi Kyai Ma;ruf dalam kontestasi Pilpres tahun depan.

Faktor determinan yang menentukan pengaruh maksimal Ulama terletak pada konteks di luar aspek keagamaan. Kuntowijoyo mengatakan, agama dapat menjadi panji perjuangan rakyat jika dia memiliki analisis tepat tentang formasi sosial dan menggunakan ideologi berdasarkan kelas. “Pesona” seorang Ulama terbangun dari kongruensi antara sikap dan seruan politiknya dengan kondisi yang dirasakan mayoritas ummat. Keampuhan Kyai Ma’ruf atau lawan-lawannya akan ditentukan sejauhmana umat mempersepsikan pemerintah sekarang. 

Dari sisi ini, alternatif skenario tetaplah bermuara pada dua hal. Jika persepsi terhadap birokrasi pemerintahan saat ini positif, maka suara Kyai Ma’ruf akan memiliki resonansi politik yang sangat luas, bahkan di luar kelompoknya. Sebaliknya, jika mayoritas rakyat menilai pemerintahan ini negatif, suara Ulama Priyayi akan dianggap angin lalu, termasuk di internal komunitas umatnya sendiri. Ke depan, kita harus siap melihat para Ulama sebagai para elit yang sedang berkontestasi politik dan sikapilah secara proporsional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement