REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Demokrat menjadi satu-satunya partai yang belum mengumumkan keputusan dukungan mereka terkait pemilihan presiden (pilpres) 2019 hingga Kamis (9/8). Dengan kondisi ini, Demokrat hanya punya waktu beberapa jam untuk memutuskan akan bergabung dengan koalisi pejawat, Joko Widodo-Ma’ruf Amin, atau Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Status sebagai partai yang lolos ambang batas (parliamentary threshold) membuat Demokrat, suka-tidak suka dan mau-tidak mau, tidak boleh abstain dan harus bergabung ikut mengusung calon presiden dalam dua koalisi yang sudah terbentuk. Sebab, UU Pemilu mewajibkan partai politik mengajukan calon presiden dan wakil presiden.
Menurut Pasal 235 ayat 5 UU Pemilu, dalam hal partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat mengajukan pasangan calon tidak mengajukan bakal pasangan calon, partai politik bersangkutan dikenai sanksi tidak mengikuti pemilu berikutnya. Syarat parpol mengajukan calon presiden, yakni memiliki perolehan kursi parlemen atau suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Syarat lainnya, yakni parpol tersebut terdaftar sebagai peserta pemilu. Demokrat memenuhi syarat keduanya.
Demokrat mengantongi 12,728 juta suara atau 10,19 persen yang mengantarkannya memiliki 61 kursi di parlemen. Demokrat terdaftar sebagai partai dengan nomor urut 14 pada Pemilu 2019.
Tidak boleh ada partai politik yang abstain pada pilpres 2019 ini juga diungkapkan oleh Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan, Kamis (2/8) pekan lalu. Ia mengatakan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah mengatur kewajiban partai politik maupun gabungan partai politik mengajukan pasangan calon.
"Sanksinya itu dia tidak boleh ikut pemilu pada pileg berikutnya. Saya kira nggak ada partai yang mau seperti itu," kata Ace.
Politikus PKS Mahfudz Siddiq juga sempat menyinggung UU Pemilu dan pengusungan capres-cawapres ini setelah Direktur Pencapresan PKS Suhud Aliyudin membuka opsi abstain. Pada Kamis pekan lalu, Mahfudz mengatakan, pernyataan Suhud dapat berimplikasi pada dua hal.
Hal tersebut di antaranya ketidakpahaman soal Undang-Undang Pemilu. “Menurut saya, itu tidak sesuai dengan undang-undang karena peserta Pemilu tidak boleh abstain. Dia (Suhud) mestinya paham undang-undang,” kata Mahfudz.
Lalu, ke mana Demokrat akan berlabuh? Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPP Muhammad Romahurmuziy mengatakan secara teori masih ada peluang bagi Partai Demokrat untuk bergabung. Namun secara politis, kata dia, sudah tidak mungkin.
Ia mengungkapkan, partai yang dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono ini sempat berkomunikasi dengan koalisi Jokowi sebelum pengumuman Kiai Ma'ruf Amin sebagi cawapres.
Namun, hingga pengumuman cawapres, tak ada sinyal lanjutan dari Partai Demokrat. "Tentu kami tak bisa menunggu lagi. Ini injury time," kata Romi.
Pilihan yang tersisa hanya bergabung pada kubu Prabowo. Namun, Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Partai Demokrat Andi Arief mengatakan, partainya menolak pencalonan Sandiaga Uno sebagai wakil Prabowo. Sikap ini diambil pascapertemuan antara Demokrat dengan Prabowo-Sandi di kediaman SBY, Kamis malam.
Baca Juga: Prabowo Usung Sandiaga tanpa Partai Demokrat
Penolakan ini hadir karena Partai Gerindra dianggap melanggar kode etik koalisi. Demokrat masih belum menerima alasan Prabowo menolak Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai pasangan wakilnya.
Sikap Demokrat yang menolak Sandiaga karena AHY ini bertolak belakang dengan pernyataan SBY yang menyerahkan sepenuhnya kepada Prabowo untuk menentukan cawapres yang akan mendampinginya. Hal itu disampaikan SBY usai melakukan pertemuan empat mata dengan Prabowo, Senin (30/7).
Kala itu, SBY hanya memberikan satu syarat kepada Prabowo. Ia berharap cawapres yang digandeng Prabowo itu adalah sosok yang diinginkan oleh rakyat.
Wasekjen Partai Demokrat Renanda Bachtar mengatakan partainya akan melakukan Rapat Majelis Tinggi Partai, Jumat (10/8) pagi nanti. Rapat dilakukan untuk menentukan sikap dan dukungan Partai Demokrat.