Kamis 09 Aug 2018 14:13 WIB

Pilpres 2019, Diamnya Muhammadiyah: Teringat AR Fachruddin

Kalau hatimu dipenuhi cinta dunia, lalu di mana tempat Allah di hatimu?

Presiden Joko Widodo (kedua kanan) didampingi Mensesneg Pratikno (kanan), Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir (kedua kiri) dan Ketua PP Muhammadiyah Hajriyanto Y Tohari (kiri) bersiap memberikan sambutan ketika menutup Muktamar Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Istana Negara, Jakarta, Senin (6/8).
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) didampingi Mensesneg Pratikno (kanan), Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir (kedua kiri) dan Ketua PP Muhammadiyah Hajriyanto Y Tohari (kiri) bersiap memberikan sambutan ketika menutup Muktamar Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Istana Negara, Jakarta, Senin (6/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persyarikatan Muhammadiyah hingga kini berposisi unik dalam hiruk-pikuk pencalonan capres dan cawapres yang sekarang tengah heboh ini. Langgamnya tetap apolitis yang hanya diam dan menunggu hasil apa yang akan terjadi. Tidak terlihat nafsu yang menggebu dari para tokohnya untuk ikut-ikutan. Tak ada sosok anggota yang ada di jajaran elite Muhammadiyah (anggota PP Muhamadiyah) yang sibuk berkomentar, apalagi nekat ikut mencalonkan diri.

Seruan Ketua Umum PP Muhammadiyah soal calon capres dan cawapres datar saja. “Kalau boleh Muhammadiyah mengajak bahwa pada seluruh institusi agama dan keulamaan tetap menjadi basis bagi kekuatan moral yang mengharapkan bangsa ini lebih luhur," kata Haedar Nashir seusai bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Senin, 6 Agustus 2018.

Haedar dalam kesempatan itu juga menyampaikan bila pada pihak lain, pilihan berpolitik tetap merupakan hak setiap warga negara yang dijamin konstitusi. Namun, dia juga meminta agar institusi politik menghormati institusi keagamaan serta tidak memanfaatkannya untuk sekadar meraih kekuasaan.

Bagi yang kenal pada langgam Muhammadiyah pasti paham akan gaya ini. Tidak ikut sibuk menjadi "pendorong mobil mogok" institusi politik. Persyarikatan ini lebih memilih minggir dalam area politik praktis. Mereka terus meneguhkan hati tetap berkhidmat pada umat dalam memberikan pelayanan sosial kemasyarakatan.

Apakah Muhammadiyah tidak paham politik? Jawabannya jelas tidak. Di sana banyak doktor politik yang paham akan soal siasyah (politik) dalam Islam dan juga paham yang ada di luarnya. Jumlah massanya sangat signifikan. Muhammadiyah adalah ormas Islam dengan jumlah massa kedua terbesar setelah NU. Bahkan, mereka relatif lebih solid dibandingkan ormas keagamaan lainnya. Semua terjalin rapi, termanajemen yang bagus, dengan sebaran di seluruh pelosok Indonesia.

Namun, Muhammadiyah memilih diam dalam soal poitik kekuasaan. Bahkan, dalam banyak perbincangan pemimpin, Muhammadiyah dari dahulu siap menanggung konsekuensi bila politik kekuasaan melupakannya.

”Tidak dibantu oleh yang berkuasa juga tak apa-apa. Sebab, bantuan penguasa tak boleh malah merepotkan kami,’’ begitu pernyataan yang sering terdengar di banyak kesempatan. Dari sebelum merdeka hingga kini seratus tahun setelah kemerdekaannya, Muhammadiyah memang mandiri. Baik secara sikap, bahkan hingga soal keuangan yang kadang bagi ormas dianggap sebuah hal yang musykil.

Selain itu, Muhammadiyah di masa lalu pun telah cukup kenyang dengan soal politik. Pelajaran pada masa Orde Lama, Orde Baru, bahkan Orde Reformasi telah mengajarkan bahwa pilihan untuk tegak lurus pada soal sosial kemasyarakatan adalah hal terbaik. Politik bukan hal yang begitu mutlak serta harga mati.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement