REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat, hingga pukul 13.00 WIB telah terjadi sebanyak 163 gempa bumi susulan di wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB). Namun demikian, kekuatan gempa bumi susulan semakin melemah dibandingkan gempa utamanya yang terjadi kemarin malam.
Kepala BMKG Pusat, Dwikorita Karnawati meminta masyarakat untuk tetap tenang dan tidak terlalu cemas dengan adanya gempa susulan tersebut. "Magnitudo terbesar pada 5,7 SR dari kejadian gempa bumi tadi malam. Dari gempa bumi susulan tersebut, sebanyak 13 gempa yang dirasakan oleh masyarakat," ujarnya di Jakarta, Senin (6/8).
Seperti diketahui, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB) diguncang Gempa berkekuatan 7 SR, Minggu (5/8) pukul 18.46 WIB. Lokasi gempa berada di titik 8.37 LS dan 116.48 BT pada lereng Utara-Timur Laut Gunung Rinjani. Gempa terjadi pada kedalaman 15 km dan sempat dinyatakan berpotensi tsunami.
Dwikorita menuturkan, munculnya gempa bumi susulan merupakan mekanisme alam guna menghabiskan energi gempa yang masih tersisa. Dengan demikian setelahnya batuan atau lempeng bumi kembali dalam kondisi stabil.
Ia menjelaskan, gempa bumi yang mengguncang Pulau Lombok, Bali, Sumbawa, dan Jawa Timur, Ahad (5/8) merupakan gempa bumi dangkal akibat aktivitas Sesar Naik Flores (Flores Back Arc Thrust). Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan gempa ini, dibangkitkan oleh deformasi batuan dengan mekanisme pergerakkan Patahan Naik (thrust fault).
Lantas mengapa berpotensi tsunami meski letak episenter berada di darat? Ia memaparkan bahwa sumber gempa bumi bukanlah suatu titik, tetapi merupakan bidang patahan yang menerus atau melampar memanjang hingga bidang patahan atau robekan batuan tersebut masuk di dasar laut dekat Pantai Lombok di bagian utara. Hal inilah yang akhirnya memicu terjadinya tsunami.
Dwikorita mengungkapkan, sejak peringatan dini waspada tsunami dikeluarkan BMKG, telah terjadi tsunami kecil di empat titik. Masing-masing di Desa Carik setinggi 13,5 cm, Desa Badas 10cm dan Desa Lembar 9cm, dan Benoa (Pukul 19.58 WIB) 2 cm, dan kemudian Peringatan Dini tersebut diakhiri pukul 20.25 WIB pada malam yang sama (5/8).
"Status ancaman tsunami ini hanya pada level waspada (ketinggian tsunami kurang dari 0,5 meter). Prediksi status ancaman yang dibuat oleh BMKG dipandang cukup akurat karena ketinggian tsunami berdasarkan monitoring tide gauge ternyata memang mencapai kurang dari 0,5 meter," katanya.
Dwikorita kembali menegaskan bahwa mengingat epicenternya sangat berdekatan dengan gempa bumi yang terjadi pada 29 Juli 2018 lalu, BMKG menyatakan bahwa gempa bumi yang terjadi tadi malam merupakan gempa bumi utama (main shock) dari rangkaian gempa bumi yang terjadi sebelumnya.
Gempa bumi ini dirasakan oleh masayarakat di daerah Mataram dengan intensitas IVSIG-BMKG (VIIMMI) yang artinya bangunan mengalami kerusakan. Sedangkan di Bima, Denpasar, Karang Asem mengalami intensitas IIISIG-BMKG(V-VIMMI) yang artinya bangunan mengalami kerusakan ringan apabila memenuhi konstruksi standar bangunan aman gempa.
Gempa bumi ini juga dirasakan di Kuta dengan intensitas IISIG-BMKG (IVMMI) yang artinya tidak ada kerusakan namun dirasakan oleh banyak orang. Sementara di Waingapu, Genteng, Situbondo, Malang dengan intensitas IISIG-BMKG(II-IIIMMI) yang artinya getaran dirasakan nyata dalam rumah. Guncangan gempa bumi ini dilaporkan menimbulkan kerusakan di Lombok dan sebagian dirasakan di wilayah Bali.
Kejadian ini telah memakan korban jiwa dan kerusakan bangunan dan rumah. Hingga kini, jumlah korban meninggal dunia akibat gempa Lombok mencapai 91 orang. Sebanyak 209 orang dilaporkan luka-luka.