REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) Hakim Sorimuda Pohan menekankan agar jangan membuat iklan yang menggiurkan penonton untuk merokok. Menurut dia, itu merupakan cara mengurangi perokok.
"Cara untuk mengurangi perokok adalah adalah dengan tidak membuat iklan rokok yang menggiurkan untuk ditonton masyarakat," kata dia di Jakarta, Kamis (3/8).
Selain itu, Hakim melanjutkan, menutup pabrik rokok bukanlah solusi. Sebab, industri ini merupakan industri yang berkembang bagus di Indonesia.
Langkah yang bisa dilakukan, yakni membuat harga rokok mahal. "Kedua, jangan bikin rokok murah,” kata dia.
Hakim mengatakan harga rokok di Indonesia termasuk murah dibandingkan negara lainnya. Ia mengatakan salah satu negara dengan harga rokok termahal adalah Singapura, yakni sekitar Rp 100 ribu/bungkus.
Dengan menetapkan kawasan tanpa rokok maka pengurangan, kecanduan nikotin pada masyarakat Indonesia dapat berkurang. Pada umumnya di seluruh wilayah Indonesia, masyarakat boleh merokok dimana saja, kecuali di beberapa kawasan seperti sekolah.
Berbeda dengan negara lain yang melarang warganya merokok di sembarang tempat, kecuali di tempat yang disediakan khusus merokok.
Sebelumnya, sejak 2010 Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) telah berupaya mengadvokasi Raperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di DKI Jakarta. Namun, pada 2016 Raperda KTR yang ditangani DPRD DKI Jakarta tak kunjung disahkan terkait keterlibatan seorang anggota DPRD DKI Jakarta dalam kasus korupsi reklamasi.
Kini, setelah dua tahun berlalu, DPRD DKI Jakarta masih belum mengesahkan Raperda KTR, sehingga pihak YLKI, FAKTA, dan Komnas PT hendak menagih janji tersebut.