REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Ketua Badan Khusus Pengendalian Tembakau, Widyastuti Soerojo mengatakan, Indonesia sudah merdeka 72 tahun secara visi. Namun, menurutnya, Indonesia belum merdeka secara mental, salah satunya terjajah oleh bisnis adiksi yang begitu masif menyasar generasi muda.
"Bisnis rokok yang tidak fair (adil)," kata Widyastuti yang akrab disapa Tuti, dalam lokakarya bertajuk "Mendorong Pelarangan Iklan, Promosi, Sponsor (IPS) Rokok untuk Melindungi Anak Indonesia yang diselenggarakan Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) Jakarta, di Kota Bogor, Jawa Barat, Sabtu (19/8).
Secara sederhana, Tuti memamerkan bagaimana dampak rokok bagi kesehatan, dengan cara mempraktikkan cara kerja paru-paru menggunakan botol shampo kosong, pada ujung lubangnya ditaruh sebatang rokok yang menyala. Dengan cara memompa, botol dibuat bekerja seperti orang menghisap rokok.
Hanya dalam beberapa kali isapan, asap rokok yang tersimpan di dalam botol tabung sama seperti asap yang masuk ke dalam paru-paru. Dari lubang bekas rokok tadi, ditaruh tissue, lalu asap yang ada di dalam di keluarkan. Setiap tiupan asap rokok dari lubang botol meninggalkan bekas kecokelatan di lembaran tissue.
"Asap rokok itu 75 persen masuk ke paru-paru, hanya 12 persen saja yang dikeluarkan kembali. Bayangkan jika ini satu batang, berapa banyak noda hitam masuk ke paru-paru. Jika sehari 20 batang, sebulan berapa banyak apalagi setahun," katanya.
Rokok inilah yang sekarang dijejalkan kepada generasi muda Indonesia. Berbagi cara dilakukan industri rokok menjejalkan racun dan nikotin lewat citra, eksploitasi kerentanan remaja, menjerat korban ketagihan, dan meraup keuntungan.
Hal ini terlihat dari iklan rokok yang begitu kreatif menyesuaikan dengan kebiasaan atau tren yang terjadi di generasi muda saat ini. "Iklan rokok masuk ke semua lini, seminar, viral marketing, media sosial, internet, SMS, iklan luar ruang, televisi, booth permainan anak, acara musik dan olahraga," kata Tuti yang juga pengurus Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI).
Tuti menyebutkan, belum lama ini IAKMI melakukan kajian tentang cengkramat industri rokok dalam memasarkan produknya melalui ritel tradisional. Studi dilakukan di empat kota satelit Ibu Kota yakni Kota Bogor, Bekasi, Depok dan Tanggerang Selatan. "Fakta menunjukkan, 37 persen ritel mitra industri rokok berlokasi kurang dari 100 meter dari sekolah," katanya.
Industri rokok dalam mengiklankan produknya juga memasang harga produk, seperti Rp 12.000 isi 12 batang, atau Rp 20.000 isi 20 batang. Menurut Tuti, hal ini untuk menyasar anak muda, karena menyesuaikan dengan uang belanja sekolah.
Teknik pemasaran tersebut menggunakan peraturan larangan menjual rokok pada anak di bawah 18 tahun, tetapi justru mendorong minat beli pelajar. "Dengan infomasi harga ini, anak-anak jadi mikir masih terjangkau ini," katanya.
Ia mengatakan, kondisi masyarakat saat ini di mana ada anak usia dua tahun sudah aktif merokok. Atau bahkan pengemis yang tidak lepas dari rokok menunjukkan ketidakberdayaan melawan kecanduan, sebagai wujud ketagihan tanpa rekayasa. "Penjajahan nikotin massal di Indonesia," kata Tuti.
Tuti menambahkan, regulasi IPS di Indonesia masih menempuh jalan setapak. Sikap pemerintah yang masih berpikir untung dan rugi dalam pengendalian tembakau, dan indeks campur tangan industri rokok membuat tidak ada regulasi nasional tentang larangan total IPS (iklan, promosi dan sponsor).
"Untuk mendorong pelarangan IPS rokok di Indonesia, dimulai dari mengatasi kendala nasional yakni lewat regulasi, terobosan lainnya melalui penilaian kota layak anak, karena larangan iklan rokok masuk dalam indikator penilaian, dan mendorong kebijakan larangan iklan di daerah," kata Tuti.
Ketua AJI Jakarta, Ahmad Nurhasyim mengatakan, senjata AK 47 yang digunakan sejak zaman perang dunia kedua, hingga kini digunakan di banyak negara, tidak pernah ada iklan tentang senjata tersebut, tetapi tetap banyak digunakan. Begitu juga dengan iklan susu formula untuk anak usia tiga tahun tidak dibolehkan, karena menghindari orang tua untuk tidak mengandalkan susu formula bagi anaknya.
"Tapi susu tetap digunakan oleh masyarakat, AK 47 juga banyak digunakan. Iklan minuman bir juga tidak pernah ada, padahal Pemprov DKI Jakarta punya saham di industri bir, tetapi tetap digunakan juga. Kenapa tidak dengan rokok," kata Hasyim.