Jumat 03 Aug 2018 05:17 WIB

Dua Ujian Bagi MK Jelang Masa Pendaftaran Capres-Cawapres

MK masih fokus menangani gugatan sengketa pilkada.

Rep: Amri Amrullah, Dedy Darmawan/ Red: Andri Saubani
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat (tengah) bersama anggota Majelis Hakim Suhartoyo (kanan) dan Wahiduddin Adams (kiri) memimpin jalannya sidang pengujian UU di ruang sidang gedung MK, Jakarta, Senin (30/7).
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat (tengah) bersama anggota Majelis Hakim Suhartoyo (kanan) dan Wahiduddin Adams (kiri) memimpin jalannya sidang pengujian UU di ruang sidang gedung MK, Jakarta, Senin (30/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jelang waktu pendaftaran calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) 4-10 Agustus, Mahkamah Konstitusi (MK) diuji dengan dua uji materi Undang-undang terkait ambang batas pencapresan atau presidential threshold (PT) 20 persen dan masa jabatan wakil presiden. Kedua gugatan ini bisa berimplikasi pada peta pencapresan, apabila MK mengabulkan salah satu atau kedua gugatan tersebut.

Ujian pertama apabila MK berani memutuskan gugatan PT 20 persen sebelum masa pendaftaran capres-cawapres. Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan apabila gugatan tersebut dikabulkan MK sebelum pendaftaran capres-cawapres maka akan ada peluang adanya capres lain selain Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto.

Sedangkan, bila gugatan soal masa jabatan wapres dikabulkan, maka peluang Jusuf Kalla menjadi cawapres akan kembali terbuka. "Dua ini menjadi ujian bagi MK, apakah mengabulkan yang PT 20 persen duluan atau masa jabatan wapres duluan," kata Titi kepada wartawan, Kamis (2/8).

Bila dilihat dari gugatan yang berproses lebih dahulu ke MK. Menurut Titi, seharusnya MK segera memutuskan dan mengabulkan gugatan soal PT 20 persen. Sebab, gugatan PT 20 persen tersebut didaftarkan oleh gabungan praktisi dan akademisi ke MK pada 13 Juni 2018, jauh lebih awal dibandingkan dengan gugatan masa jabatan wakil presiden yang didaftarkan oleh Perindo pada 10 Juli 2018.

Dan secara dalil konstitusi, menurut Titi, gugatan PT 20 persen sangat kuat, karena Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur PT 20 persen jelas melanggar konstitusi soal hak setiap warga negara mencalonkan dan dicalonkan. "Ya kemungkinan (dikabulkan) itu semestinya terbuka lebar. Dan melihat tradisi MK selama ini, semestinya tidak ada halangan bagi MK memutus permohonan menggugurkan PT 20 persen ini," ujar Titi.

Apalagi, menurut dia, permohonan gugatan PT 20 persen ini bukanlah permohonan baru. Sebab, sebelumnya pernah diajukan.

Namun, kini ada batu uji konstitusionalitas yang baru diajukan oleh pemohon. Titi yakin, MK sudah memahami pokok permohonan yang diajukan gugatan ini. MK seharusnya tinggal mempertimbangkan batu uji konstitusionalitas baru yang diajukan tersebut.

Dengan pertimbangan itu, ia yakin MK akan sangat mudah memutus perkara ini dan menggugurkan PT 20 persen tersebut. Dengan diputusnya gugatan PT 20 persen ini, menurut dia, akan ada kepastian hukum dan rasa keadilan berpolitik warga negara di Pemilu 2019.

"Karena itu kami yakin gugatan ini akan dikabulkan oleh MK," jelas Titi.

Pengamat sosial politik, Rocky Gerung turut mempertanyakan lambannya MK memutus gugatan presidential threshold 20 persen yang kini telah berproses hampir dua bulan di MK. Rocky menyebut penundaan setiap putusan strategis yang berimplikasi politis pada penguasa seringkali ada persekongkolan di dalamnya.

"Di dalam penundaan selalu ada persekongkolan," kata Rocky dalam diskusi 'Hapus Ambang Batas Nyapres. Darurat Demokrasi, Darurat Konstitusi' di kantor PP Muhammadiyah, Selasa (31/7).

Gugatan ke MK soal aturan PT 20 persen didaftarkan sejak 13 Juni lalu, dan hingga dua bulan, Rocky melihat seolah olah MK tidak menganggap penting gugatan ini. Padahal, gugatan ini menyangkut hak politik warga negara.

Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anhar Sumanjuntak menilai MK bertindak diskriminatif apabila justru gugatan soal masa wakil presiden dikabulkan lebih dahulu ketimbang gugatan PT 20 persen. Dan tindakan diskriminatif oleh MK ini menurut Dahnil akan sangat berbahaya bagi demokrasi, karena akan membuka kepentingan politik tertentu.

"Ini diskriminatif dan berbahaya apabila MK justru mengabaikan gugatan PT 20 persen dan mengabulkan gugatan masa jabatan wapres," ujar Dahnil.

Baca juga:

Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah mengatakan, waktu putusan MK soal gugatan ini belum bisa dipastikan. Pasalnya, proses rapat permusyawaratan hakim (RPH) secara internal masih berlangsung. Pertimbangan RPH pun belum dipastikan kapan akan selesai.

“Saya belum bisa memastikan. Kami juga tidak bisa membicarakan perkara yang sedang berlangsung. Jadi mohon maaf belum bisa (disampaikan),” kata Guntur usai konferensi pers di gedung MK, Selasa (31/7).

Guntur mengungkapkan, dirinya pun tak bisa memberikan informasi lebih detail karena setiap perkara hanya hakim MK yang mengetahui. Para hakim, lanjut dia, akan mempertimbangkan semua aspek. Baik aspek konstitusi maupun dinamika yang berkembang di masyarakat.

Guntur mengatakan, rata-rata masa judicial review memakan waktu tiga bulan bahkan ada yang selesai hampir dua tahun. Waktu judicial review sangat bergantung berat-ringan perkara yang ditangani para hakim MK. Termasuk, seberapa banyak saksi atau ahli yang akan ditampilkan pihak penggugat.

Di sisi lain, gugatan terkait Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 belum menjadi prioritas MK. Sebab, para hakim sedang konsen dengan perkara pilkada dan hanya diberi waktu 45 hari untuk menentukan keputusan.

Kalaupun putusan MK nanti dikeluarkan mendekati akhir masa pendaftaran capres-cawapres, Guntur pun tak bisa memastikan apakah MK bisa memberikan rekomendasi penambahan waktu pendaftaran. Seperti diketahui, masa pendaftaran capres-cawapres digelar pada tanggal 4-10 Agustus 2018.

Namun, berdasarkan pengalaman MK, ada perkara di mana MK bisa memberikan suatu rekomendasi. Perkara tersebut yakni soal rekomendasi peserta Pemilukada tahun 2013 agar bisa mencoblos menggunakan KTP dan KK.

“Saya tidak bisa nyatakan bisa atau tidak, tapi pengalaman ada. Banyak pertimbangan untuk mengambil putusan,” kata Guntur.

[video] MK Harus Segera Putuskan Penghapusan Presidential Threshold

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement