Kamis 02 Aug 2018 16:01 WIB

IDI: Aturan Baru BPJS Kesehatan Rugikan Masyarakat

Tidak hanya pasien, aturan baru layanan BPJS Kesehatan juga merugikan dokter.

Petugas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan melayani peserta di kantor BPJS Kesehatan Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (29/6).
Foto: Antara/Abriawan Abhe
Petugas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan melayani peserta di kantor BPJS Kesehatan Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (29/6).

REPUBLIKA.CO.ID, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menilai Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan tentang pelayanan katarak, persalinan bayi, dan rehabilitasi medik merugikan pasien. Tidak hanya pasien, aturan baru layanan BPJS Kesehatan ini pun dinilai merugikan dokter.

"Perdirjampelkes Nomor 2, 3, dan 5 tahun 2018 merugikan masyarakat dalam mendapatkan mutu pelayanan kesehatan yang berkualitas," kata Ketua Umum PB IDI Ilham Oetama Marsis dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (2/8).

Marsis mencontohkan, peraturan direktur BPJS Kesehatan tentang persalinan bayi baru lahir sehat dinilai berisiko mengalami sakit, cacat, atau kematian karena tidak mendapatkan penanganan yang optimal. Sementara, pembatasan operasi katarak yang dijamin program JKN dengan syarat visus atau ketajaman penglihatan 6/18 (buta sedang) dinilai akan mengakibatkan angka kebutaan di Indonesia, menurunkan produktivitas, dan meningkatkan risiko cedera dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

Adapun, terkait aturan yang yang mengatur pelayanan rehabilitasi medik dibatasi hanya dua kali per pekan dinilai tidak sesuai dengan standar pelayanan rehabilitasi medik. "Akibatnya hasil terapi tidak tercapai secara optimal dan kondisi disabilitas sulit teratasi," jelas Ilham.

Peraturan tersebut juga berdampak merugikan dokter karena dokter berpotensi melanggar sumpah dan kode etik dengan tidak melakukan praktik kedokteran yang sesuai standar. Kewenangan dokter, kata Marsis, dalam melakukan tindakan medis diintervensi dan direduksi oleh BPJS Kesehatan.

Marsis mengatakan, tiga Perdirjampelkes tersebut berpotensi melanggar UU SJSN Nomor 40 Tahun 2004 pasal 24 ayat (3). BPJS Kesehatan, kata Marsis, seyogiyanya tidak mengorbankan mutu pelayanan dan membahayakan keselamatan pasien.

IDI menilai, Perdirjampelkes tersebut disebut tidak mengacu pada Perpres Nomor 19 Tahun 2016 tentang JKN pasal 43a ayat (1). Di mana, dalam Perpres 19/2016 dinyatakan bahwa, BPJS Kesehatan mengembangkan teknis operasionalisasi sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, dan sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas.

"IDI meminta BPJS Kesehatan membatalkan Perdirjampelkes nomor 2, 3, dan 5 tahun 2018 untuk direvisi sesuai dengan kewenangan BPJS Kesehatan yang hanya membahas teknis pembayaran dan tidak memasuki ranah medis," kata Marsis.

IDI juga meminta defisit BPJS Kesehatan tidak bisa dijadikan alasan untuk menurunkan kualitas pelayanan. "Dokter harus mengedepankan pelayanan sesuai dengan standar profesi," tegas Marsis.

Pada Rabu (1/8), Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan, Budi Mohamad Arief, menjelaskan, BPJS Kesehatan tetap memberikan penjaminan pelayanan kesehatan untuk katarak, rehabilitasi medis, dan bayi baru lahir sehat. Namun, ia mengakui, untuk tiga pelayanan kesehatan itu merujuk pada tiga Perdirjampelkes.

"Jadi tidak ada BPJS Kesehatan mencabut tiga pelayanan kesehatan tersebut, berita tersebut adalah hoaks," kata Arief.

Perdirjampelkes, kata Arief, memperjelas tata cara penjaminan agar pemanfaatan pelayanan kesehatan lebih efektif dan efisien. Menurut Arief, sesuai dengan tugas negara sebagai penyelenggara Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), maka BPJS Kesehatan wajib mengatur kejelasan dan ketepatan pelayanan sehingga tidak terjadi ketidakefisienan dan ketidakefektivan.

Ia mencontohkan, dalam peraturan mengenai pelayanan katarak, peserta penderita katarak dengan visus (lapang pandang penglihatan) pada kriteria tertentu dengan indikasi medis dan perlu mendapatkan operasi katarak, akan tetap dijamin BPJS Kesehatan. Penjaminan juga memperhatikan kapasitas fasilitas kesehatan seperti jumlah tenaga dokter mata dan kompetensi dokter mata yang memiliki sertifikasi kompetensi.

"BPJS Kesehatan menampung semua aspirasi, baik Kementerian Kesehatan, DJSN, asosiasi, perhimpunan profesi dan pihak terkait lainnya. Implementasi Perdirjampelkes 2, 3, dan 5 akan ditingkatkan menjadi peraturan badan, melalui mekanisme dan ketentuan yang ada," kata Arief.

Dampak Perdirjampelkes

Aturan main baru yang ditetapkan BPJS Kesehatan telah membuat penyedia layanan kesehatan mengambil kebijakan baru pula. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bahteramas Sulawesi Tenggara, misalnya, menghentikan atau tidak mengakomodir pelayanan pasien fisioterapi BPJS Kesehatan.

Direktur RSUD Bahteramas Sultra, Yusuf Hamra, di Kendari, Kamis (2/8), mengakui BPJS Kesehatan tidak membatasi. Namun, ada aturan-aturan yang lebih memperketat pelayanan BPJS.

"Karena kita tahu BPJS mengalami kesulitan keuangan, sehingga harus lebih efisien dan saya tidak mempersoalkan sehingga operasi mata masih tetap berjalan, pelayan bayi juga tetap berjalan dan fisioterapi saja mulai menghentikan untuk pasien BPJS Kesehatan," katanya.

Yusuf pun mengakui, ada keterlambatan pembayaran tagihan. "Saat ini, penundaan pembayaran sampai Maret 2018 belum terbayarkan, sementara hari ini telah memasuki bulan Agustus sehingga melihat keterlambatan ini harus mengefisienkan pelayanan," katanya.

Ikatan Fisioterapi Indonesia sebelumnya mempertanyakan isi Perdirjampelkes BPJS Kesehatan terkait layanan kesehatan rehabilitasi medik tidak menyebut fisioterapis. Padahal, peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) masih membutuhkannya.

Bagian Kesekretariatan Ikatan Fisioteapi Indonesia M Rendy Herdiansyah mengaku, pihaknya kaget aturan ini hanya mengatur tentang rehabilitasi medik. Ia mempertanyakan, BPJS Kesehatan hanya menggunakan standar dari perhimpunan dokter spesialis dokter fisik dan rehabilitasi, bukan standar profesi fisioterapi.

"Kami pengurus pusat (Ikatan Fisioterapi Indonesia) tidak dilibatkan dalam perdirjampelkes ini dan kaget pelayanan fisioterapi tidak disebutkan di perdirjampelkes ini," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (1/8).

Karena itu, Rendy menambahkan, pengurus pusat mengirimkan surat keberatan kepada BPJSKesehatan dan tembusan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), hingga Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) namun belum mendapatkan respons berarti. Ia mengaku baru DJSN yang mengajak pihaknya bertemu.

Komisi IX DPR akan memanggil pihak BPJS Kesehatan terkait Perdir Jampelkes yang banyak mengundang protes dari masyarakat pertengahan Agustus 2018 nanti. Wakil Ketua Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay mengatakan, DPR akan akan memanggil BPJS Kesehatan.

"Sebenarnya kami sudah berencana memanggil BPJS Kesehatan saat reses tetapi kemungkinan besar kami jadwalkan memanggil mereka setelah reses di pertengahan Agustus 2018," katanya saat dihubungi Republika, Rabu (1/8).

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement