REPUBLIKA.CO.ID, LOMBOK TIMUR -- Khaerul Wardi sudah tiga hari tak tinggal di rumah. Ia bersama istri, Sukaini (25 tahun) dan keluarga besarnya menggantungkan diri pada bantuan. Posko pengungsian di lapangan Dusun Sajang, Desa Sajang, Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi tempatnya berteduh bersama ratusan warga Sajang lainnya.
Pemuda berusia 26 tahun itu mengaku tidak pernah ingin tinggal di tenda pengungsian. Bencana gempa yang meluluhlantakan rumahnya membuat ia terpaksa tinggal di posko pengungsian.
"Rumah saya roboh, sama juga dengan rumah warga lain, ada yang rumahnya masih berdiri tapi enggak bisa ditinggali lagi," ujar dia kepada Republika.co.id di Posko Pengungsian Sajang, Sembalun, Lombok Timur, NTB, Selasa (31/7).
Ia bercerita bencana gempa terjadi secara tiba-tiba. Dia dan istri yang sedang tidur dibuat kaget karena guncangan gempa yang begitu keras. Tanpa pikir panjang, Khaerul yang sehari-hari bekerja di perkebunan ambil langkah seribu tanpa menyelematkan barang-barang yang ada di dalam rumah.
"Saya bangun duluan langsung tarik istri, begitu bangun sudah kaya mau roboh, barang-barang enggak sempat dibawa, kami tinggal semua," katanya.
Kepanikan yang melanda membuat istrinya berlari tanpa mengenakan pakaian, dan hanya menggunakan sarung untuk menutupi bagian tubuhnya. Ia dan istri bahkan tak sempat mengenakan alas kaki begitu paniknya.
Bahkan, lanjut Khaerul, banyak tetangganya yang keluar rumah dengan hanya mengenakan celana dalam karena takut tertimpa reruntuhan bangunan rumah akibat gempa.
"Mau ambil sendal enggak sempat, sudah mau roboh dahsyat banget gempanya itu, makanya sampai ada tetangga yang luka-luka," ucap dia.
Praktis, Khaerul dan istri hanya membawa pakaian, selimut, dan sarung untuk shalat selama tinggal di pengungsian. Sejauh ini, ia telah mendapatkan bantuan beras, mie instan, dan air mineral.
Ia mengaku belum tahu sampai kapan tinggal di posko pengungsian. Namun, ia juga belum tahu akan tinggal di mana jika posko pengungsian sudah tak lagi berdiri.
"Katanya ada yang bilang tinggal di posko pengungsian selama seminggu, ada yang bilang sebulan, bingung juga karena rumah enggak bisa ditempati," ungkap Khaerul.
Dia berharap, pemerintah memberikan bantuan untuk memulihkan kondisi bangunan rumahnya yang rusak akibat gempa.