Rabu 01 Aug 2018 06:45 WIB

Siasat Atasi Kemacetan Karena Ojek Online

Ojol juga menjadi salah satu penyumbang kemacetan Jakarta.

Esthi Maharani
Foto: doc pribadi
Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Esthi Maharani*

Bukan rahasia umum apabila ojek online (Ojol) sering menggunakan bahu jalan untuk menunggu penumpang. Celakanya, jumlah Ojol yang parkir itu bisa berjumlah puluhan. Akibatnya tentu membuat ruas-ruas jalan tersumbat. Pada akhirnya kemacetan tak terhindarkan.

Saya tak perlu jauh-jauh untuk mensurvei sumbatan-sumbatan jalan raya karena ojol. Di depan kantor Republika, di Jalan Warung Buncit Raya No 37, Ojol berjejeran di bahu jalan yang memisahkan antara Republika dan sebuah mall besar di Jakarta. Tak jarang, kendaraan tak bisa lewat karena penuhnya ruas jalan.

Bergeser sedikit dari situ, kawasan Ragunan, tepatnya di pintu keluar-masuk Transjakarta, ojol pun berbaris tak rapi menunggu penumpang. Di tempat lainnya, stasiun Pasar Minggu juga mengalami hal yang sama. Bahkan mungkin lebih parah karena adanya perpaduan jalan tikus, underpass, u-turn, kendaraan yang melawan arus, dan pasar tradisional.

Keberadaan ojol memang sangat membantu warga Jakarta untuk menembus kemacetan. Tetapi, seiring perkembangan waktu, Ojol juga menjadi salah satu penyumbang kemacetan Jakarta. Sumbatan-sumbatan di bahu jalan atau persilangan jalan membuat jalanan Jakarta semakin ruwet untuk dilalui.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah melakukan pertemuan dengan penyedia aplikasi transportasi online pada awal Juli lalu. Hal yang dibicarakan menyangkut perlunya kantong-kantong parkir yang diperuntukan bagi ojol. Keduanya menyepakati untuk mencari lahan agar bisa digunakan untuk kantong parkir. Namun, mencari lahan di tengah padatnya Jakarta, bukan perkara mudah.

Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan pun pada akhirnya mengumpulkan para Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan pimpinan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Ia menginstruksikan agar 425 gedung di bawah lingkungan Pemprov DKI menyediakan tempat antar jemput Ojol.

"Semua yang di bawah lingkungan Pemprov dimulai Senin, 30 Juli 2018 diinstruksikan untuk menyiapkan tempat drop off dan pick up," kata Anies di Balai Agung, Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jumat (27/7).

Uji coba akan dilakukan selama sepekan. Setiap pengelola gedung diminta mencari lokasi yang pas dan mengatur sistem antar jemput penumpang agar sesuai desain kantor masing-masing. Tempat antar jemput ojol itu bukan pangkalan ojek. Para pengemudi tidak boleh berhenti lama di tempat tersebut. Antar jemput penumpang umumnya juga dilakukan pada awal jam kerja dan akhir jam kerja.

Disebutkan, 425 gedung yang akan menyediakan tempat antar jemput ojol terdiri dari gedung perkantoran, kantor SKPD, kantor wali kota, puskesmas, rumah sakit, terminal, stasiun, dan gedung olahraga (GOR). Koordinasi akan dilakukan oleh Dinas Perhubungan dan Transportasi (Dishubtrans) dan penentuan tempat diserahkan kepada pengelola gedung.

Keberadaan tempat antar-jemput atau shelter Ojol bisa saja menjadi solusi. Setidaknya hal ini sudah diterapkan di Stasiun Depok Baru, Depok, Jawa Barat. Dulunya, Ojol dan ojek pangkalan (Opang) sering berebut lahan. Dengan aturan tak tertulis, Ojol diminta untuk bergeser sedikit lebih jauh dari Opang. Tetapi, dengan deretan ojek yang begitu panjang membuat arus lalu lintas semakin semrawut dan silang sengkarut karena bahu jalan yang dipenuhi kendaraan.

Hingga akhirnya ojol berinisiatif untuk membangun shelter secara mandiri. Mereka membangun shelter tersebut dari dana patungan para pengemudi yang sering mangkal di area Stasiun Depok Baru. Setiap pengemudi dari berbagai penyedia aplikasi transportasi online dipungut biaya Rp 20.000 untuk pembangunan shelter tersebut. Selain itu, setiap harinya, pengemudi yang biasa mangkal atau baru bergabung diminta sumbangan Rp2.000 untuk menjaga dan merawat infrastruktur yang ada.

Mereka juga mengurusi perihal administrasi dan meminta izin menggunakan lahan milik Kementerian Perhubungan. Tak hanya itu, shelter pun sedikit demi sedikit dilengkapi fasilitas seperti kursi, toilet, stop kontak, hingga mushola.

Cara lainnya bisa dengan pengaturan lalu lintas ojol. Hal ini telah diterapkan di stasiun Djuanda, Jakarta Pusat. Di sana, pihak stasiun melakukan penataan agar para ojek online yang membawa penumpang bisa lebih tertib. Jadi, di stasiun Djuanda sudah didesain antreannya, sistem antara pihak yang mengantar dan menjemput dibedakan.

Untuk mengatasi kemacetan Jakarta karena Ojol memang bukan perkara mudah. Beberapa siasat sudah dilakukan. Tetapi, Pemprov DKI Jakarta harus ingat, perkara mengatasi kemacetan Jakarta harus melibatkan banyak pihak. Tak bisa Pemprov DKI Jakarta hanya bekerja sama dengan penyedia aplikasi transportasi online atau mengharapkan inisiatif dari pengemudi ojol untuk menciptakan kenyamanan bagi dirinya dan penumpang. Pihak pengelola gedung, seperti gedung perkantoran atau tempat perbelanjaan juga harus dilibatkan.

Tempat seperti gedung perkantoran dan tempat perbelanjaan menjadi magnet bagi ojol. Maka dari itu, mereka seharusnya diwajibkan menyediakan parkir bagi ojol sebagai bagian dari tanggung jawab pengelola gedung. Misalnya, mengambil bagian depan areal parkir gedung untuk tempat parkir sementara. Pemprov pun bisa memberikan insentif pajak parkir bagi pengelola gedung yang secara khusus memberikan tempat khusus bagi hilir mudik ojol sebagai bentuk apresiasi, Dengan demikian, tidak ada pihak yang merasa dirugikan dan penyebab kemacetan Jakarta bisa dieliminasi.

 

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement