Senin 23 Jul 2018 11:20 WIB

RUU SDA Dianggap Bertentangan dengan UU Perindustrian

Sanny mengatakan RUU SDA beratkan pelaku industri baik besar, kecil dan menengah

Usaha kecil menengah/UKM (ilustrasi)
Foto: Antara
Usaha kecil menengah/UKM (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) yang saat ini tengah dibahas di DPR dinilai bertentangan dengan UU No 3 Tahun 2014 tentang perindustrian. Melalui UU tersebut, pemerintah mendorong pertumbuhan kawasan-kawasan industri di berbagai wilayah.

Namun keberadaan RUU SDA justru memberatkan pelaku industri baik besar, kecil dan menengah untuk dapat bertumbuh. Hal itu disampaikan oleh Ketua Himpunan Kawasan Industri (HKI), Sanny Iskandar dalam diskusi media yang diselenggarakan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Kamis (19/7).

Ia menyebutkan UU Perindustrian menyebutkan industri manufaktur baru wajib berlokasi di kawasan industri. Di lain pihak, pemerintah wajib menyediakan sarana prasarana dasar untuk kegiatan industri dalam hal ini suplai air baku untuk keperluan industri.

“Turunan dari UU Perindustrian adalah PP No 142 tahun 2015 tentang kawasan industri yang menyebutkan kawasan industri wajib menyediakan sarana dan fasilitas diantaranya instalasi pengolahan air bersih, berikut juga pengolahan air limbah,” jelas Sanny dalam rilisnya, Ahad (22/7).

Artinya, menurutnya, pemerintah harus dapat menjamin ketersediaan air berikut instalasi pengolahan air limbah. Pengolahan air bersih dan juga pengolahan air limbah adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

Sebab, dalam menjalankan proses produksinya kawasan industri harus mendapatkan air baku yang kemudian disalurkan ke pabrik. Pabrik sendiri menghasilkan air limbah yang harus diolah dahulu dengan instalasi pengolahan air limbah milik kawasan untuk selanjutnya dibuang ke permukaan sungai.

Bila RUU SDA nantinya disahkan tanpa mempertimbangkan aspek-aspek industri, dikhawatirkan akan ada pembatasan quota air yang tentunya sangat berdampak terhadap keseluruhan proses industri.

“Yang ingin kami soroti, di dalam RUU SDA terdapat kecendrungan membatasi air baku bagi kawasan industri. Hal itu sangat tidak sesuai dan bertentangan dengan UU Industri maupun PP no 142 tahun 2015 tentang kawasan industri,” tegas Sanny.

Industri-industri baru pun akan kesulitan mengajukan permohonan air  baku untuk kebutuhan mereka. Jelas pertumbuhan indsutri di Indonesia akan terhambat.

APINDO sendiri menyayangkan pembahasan RUU SDA yang tidak melibatkan Kementerian Perindustrian. Sementara, pasal-pasal dalam RUU tersebut banyak bersinggungan dengan pelaku industri.

Jika dibandingkan dengan pertanian dan rumah tangga, kawasan industri hanya menggunakan 2 persen sumber daya air dari total konsumsi yang ada. Tri Junanto yang mewakili Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (GAPMMI) juga mengatakan para pelaku industri  makanan dan minuman jelas akan kesulitan dengan penerapan RUU SDA ini.

“Perlu diingat industri makanan dan minuman berkontribusi  30 persen GDP dan menyerap 4 juta tenaga kerja,” ujar Tri Junanto.

Bisa dibayangkan, RUU SDA nantinya akan mempersempit gerak industri, penurunan GDP serta dampak langsung terhadap masyarakat adalah berkurangnya penyerapan tenaga kerja. Berdasarkan catatan Apindo, terdapat tiga masalah utama yang dinilai kalangan usaha bisa memberikan dampak negatif dari lahirnya UU tersebut.

Dalam RUU itu, terdapat pasal-pasal pungutan terhadap dunia usaha dalam bentuk bank garansi, dan kompensasi untuk konservasi sumber daya air minimal 10 persen dari laba perusahaan. Kedua, dalam RUU tersebut belum memiliki orientasi perbedaan yang jelas tentang kewajiban negara dalam menyediakan air bersih dan air minum untuk masyarakat, dan sekaligus kewajiban negara dalam membangun perekonomian yang memajukan masyarakat dunia usaha. Kemudian, arah dari RUU Sumber Daya Air tersebut tidak mengedepankan perlindungan sumber air.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement