Ahad 22 Jul 2018 15:15 WIB

Kepalsuan Media: Ketika Waode Dilarang Bernyanyi

Media massa di sebuah negara itu cermin dari warga negaranya.

Waode Sofia saat bernyanyi di sebuah audisi.
Foto: Kaskus.id
Waode Sofia saat bernyanyi di sebuah audisi.

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.

Kepalsuan, citra, hingga bedak dalam media masa hari ini memang terlhat nyata menjadi jualan utama pada sebuah negara yang bisa disebut super kapitalis ini. Citra dan bedak pada hari-hari terkini kian penting ketika situasi jelang pemilu mulai hadir (kemarin sudah pilkada).

Lihat saja, sebentar lagi akan bertaburan poster berwajah cantik dan gagah di bawah pokok pohon, jembatan, pesawahan, dan pinggir jalan-jalan. Ini memang menjadi lucu dan wagu  karena tiba-tiba banyak orang sibuk berdandan dan bersolek layaknya pesohor yang itu-itu saja yang nongol di televisi.

Tapi kadang semua citra adalah keharusan untuk melayani sistem demokrasi yang sampai kini juga tetap masih arfisial ini. Pengenalan publik jadi prasyarat untuk mendongkrak kata yang kini menjadi mantra: elektabilitas! Padahal di balik itu terkandung makna yang banal, yakni demi uang, demi popalarits, dan demi pengumpulan modal.

Misalnya, publik media terakhir ini dikejutkan dengan fenomena konyol tentang nasib seorang anak gadis yang masih berusia 16 tahun asal kota kecil di Sulawesi Tenggara, kota Bau-Bau. Anak ini memicu perhatian setelah ada tayangan video di Youtube yang berisi dia tak boleh menyanyi dalam sebuah audisi dangdut untuk sebuah televisi.

Tragisnya, dia tak boleh nyanyi oleh sang juri karena berpenampilan sederhana layaknya anak kampung yang terbiasa tak berbedak dan irit berbicara. Ketika disemprot sang juri dengan ekpresi ketus, sesaat terlihat bibir anak yang bernama Waode Sofia gemetar tanda nervous. Dia menjawab pendek bila bajunya yang bagus itu ketinggalan.

Tayangan video ini membuat gempar. Publik geram menonton sebuah tayangan yang terlihat sadis dan melecehkan. Mereka tahu di acara bergenre yang sama, meski ada orang berpampilan sederhana ikut ajang nyanyi, mereka dibolehkan dan mendapat respek. Mereka ingat betul ada seorangg gadis mungil yang masih pakai bawahan seragam baju sekolah dan bersepatu lecek, malah jadi juara ajang nyanyi di televisi. Berbeda dengan ajang nyanyi itu, para jurinya tampak lebih cerdas serta mau berendah hati tak mempersoalkannya. Mereka lebih peduli sama kualitas suara dari pada mengukur ketebalan bedak, merahnya bibir, warna cat rambut, mengkilapnya sepatu, mencongnya alis, hingga gemerlap baju yang dikenakan si peserta.

Dalam banyak pemberitaan, pihak pengampu tayangan kemudian terlihat kerepotan menjawab serangan ‘bully’ di media sosial. Mereka bertahan dengan menyatakan tayanan itu terpotong atau terkesan hanya sebagai ‘permainan’ atau gimmick saja’. Si juri pun omong seperti termuat di media massa dengan menyatakan bila apa yang dilakukannya adalah sebagai langkah persiapan mental bagi anak tersebut

Publik jelas tak terima, karena merasa kalau tayangan benar itu hanya ‘gimmick’ malah menjadi luar bisa sadis karena dilakukan dengan terencana. Apalagi ini dilakukan kepada seorang gadis yang masih dalam kategori masa anak-anak karena baru berusia 16 tahun. Yang paling celaka, KPAI dan Komisi Penyiaran sampai hari ini belum bersuara.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement