Ahad 22 Jul 2018 15:15 WIB

Kepalsuan Media: Ketika Waode Dilarang Bernyanyi

Media massa di sebuah negara itu cermin dari warga negaranya.

Waode Sofia saat bernyanyi di sebuah audisi.
Foto:
Titiek Puspa saat rekaman soundtrack film

Jadi apa yang menimpa Waode, meskipun itu dianggap setingan, ini perilaku yang jauh dari keabadan. Respek pada orang lemah, kecil, tak punya seakan hilang pada media massa. Semua bekerja mengejar rating, iklan, dan menjadi pelayanan sejati sistem industri yang super kapiltalis itu.

Seorang guru sebuah SMK di sebuah pelosok tanah air pernah mengeluh. Bila tayangan atau sajian dia media masa (dan juga medos) banyak yang merusak mental bangsa. Anak-anak muridnya menjadikan nyanyian sekaligus goyangan yang bergaya cabul menjadi acuan. Mereka banyak bermimpi jadi artis karena terkesan glamour dan hidup bergelimang uang serta ketenaran.

”Sering saya merana, usaha yang lama dan keras dari para guru untuk membenahi mental para murid, hilang sekejap  dengan ekpresi bernyanyi dan gaya panggung para artis di televisi yang tak beradab. Dia bergoyang sebeberapa menit, tapi saya merasa segala usaha untuk mendidik anak-anak selama bertahun-tahun kita hancur lebur,’’ keluh guru itu.

Akibatnya, jangan heran bila sosok seperti Lalu Muhammad Zuhri (pelari), Muhammad Fauzan (karateka), Tantowi dan Lyliana Natsir (bulu tangkis) belakangan makin langka. Suasana gairah masyarakat, sikap media, juga seolah tak butuh mereka lahir dan ada. Mereka baru saja terasa ada ketika juara. Publik dan media tak peduli ketika mereka berproses. Bahkan menolaknya karena dia miskin, berumah reyot, tak berbedak, tak berbaju bagus.

Respek kepada orang lemah tak terlihat pada media masa masa kini. Ah jangan samakan pada tayangan ajang unjuk bakat menyanyi di televisi luar negeri. Di sana terlihat ada kehangatan dan respek kepada orang susah, misalnya sikap empati kepada para gelandangan dan orang tak punya yang berdandan berantakan. Para juri lomba nyanyi itu menerima dengan lapang dada. Simon Philip Cowell atau Paula Abdul hanya kritis pada soal suara. Keduanya tetap respek dan peduli pada orang berkekurangan, apalagi penyandang disabilitas.

Media massa baik cetak dan elektronik di sebuah negara itu cermin dari warga negaranya. Sayangnya kadang kala cermin kita banting sendiri karena muka tak secerah, setampan, secantik para pesohor yang berpenampilan mengkilap di televisi.

Atau dengan kata lain, media menjadi penyembah citra palsu kita. Seakan-akan kita semua sudah menjadi bangsa yang lebih sempurna, makmur, dan sejahtera.

Mudah-mudahan nasib menimpa Waode menjadi terakhir kali!

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement