Kamis 19 Jul 2018 03:00 WIB

Pasal 222 UU Pemilu Dinilai Batasi Pilihan Capres Alternatif

Masyarakat sipil menyampaikan argumentasi baru dalam gugatan uji materi PT.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Bayu Hermawan
Direktur Perludem sekaligus Duta Demokrasi Internasional Titi Anggraini berpose disela-sela saat wawancara di Kediamnya Kawasan Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, Ahad (1/4).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Direktur Perludem sekaligus Duta Demokrasi Internasional Titi Anggraini berpose disela-sela saat wawancara di Kediamnya Kawasan Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, Ahad (1/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Titi Anggraini, salah seorang pemohon uji materi terhadap Pasal 222 Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, mengatakan pasal tersebut membatasi alternatif pilihan capres-cawapres yang akan maju di Pemilu. Masyarakat sipil menyampaikan argumentasi baru yang menguatkan gugatan uji materi terhadap pasal yang mengatur ambang batas pencalonan presiden itu.

Titi menjelaskan, salah satu argumentasi baru yang disampaikan pihaknya berdasarkan kepada pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945. Dalam pasal 6 ayat 3 itu menyebutkan, pasangan capres-cawapres terpilih harus mendapatkan paling sedikit 50 persen plus 1 suara sah yang tersebar paling sedikit pada 50 persen provinsi dengan sebaran sekurang-kurangnya 20 persen di setiap provinsi itu.

"Sistem itulah yang disebut sebagai sistem pemilu dua putaran. Sistem inilah yang dimaksudkan untuk mewadahi keragaman pilihan capres-dan cawapres. Merujuk kepada dasar ini, maka tidak mungkin jika kita memberlakukan ambang batas pencapresan dengan perhitungan 20 persen kursi atau 25 persen suara sah DPR pada pemilu sebelumnya," ujar Titi ketika dijumpai usai konferensi pers di Gedung MK, Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (18/7).

Karena itu, kata dia, pihaknya berargumen jika keberadaan pasal 222 dalam UU Pemilu bertentangan dengan maksud UUD 1945 yang menginginkan keberagaman pilihan (capres-cawapres). Sebab, pada pokoknya, dua ayat pada pasal 6 UUD 1945 menekankan bahwa pembentuk aturan itu sudah memahami keragaman politik Indonesia. Sehingga, lanjut Titi, sistem pemilu untuk memilih capres dan cawapres di Indonesia, sebagaimana yang selama ini dianut dalam konstitusi, adalah pemilu dua putaran atau two run system. Di banyak negara lain di dunia, sistem semacam ini juga bertujuan mewadahi keberagaman capres dan cawapres.

"Yang dikehendaki oleh pembuat UUD 1945 itu bukanlah sebuah Pemilu dengan pilihan yang terbatas atau pilihan yang sedikit. Oleh karena itu, mereka menciptakan sistem pemilu presiden dua putaran sehingga pilihan dan keragaman politik Indonesia bisa diwadahi secara alamiah melalui sistem tersebut," katanya.

Lebih lanjut, Titi menjelaskan latar belakang dipilihnya pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) sebagai dasar tambahan argumen dan batu uji terhadap pasal 222 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. "Karena setelah kami periksa dalam banyak permohonan sebelumnya, MK belum pernah memutus uji ambang batas pencalonan presiden menggunakan pasal tersebut. Sehingga kami optimis dan meyakini kalau majelis hakim MK betul-betul memaknai maksud pembuat UU, akan mempertimbangkan argumentasi kami," tegasnya.

Sebelumnya, aturan mengenai ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold digugat ke MK. Permohonan uji materi atas pasal 222 Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu ini diajukan oleh 12 orang dari berbagai kalangan.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Denny Indrayana melalui Indrayana Centre for Government, Constitution and Society (Integrity), menjadi kuasa hukum untuk permohonan uji materi tersebut. Pendaftaran gugatan dilakukan pada Rabu (13/6) lalu.

"Kami meminta MK dapat segera memutuskan permohonan ini sebelum masa pendaftaran capres berakhir pada 10 Agustus 2018 yang akan datang," kata Denny dalam keterangan persnya.

Denny menjelaskan, syarat ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen telah mendegradasi kadar pemilihan langsung oleh rakyat yang telah ditegaskan dalam Undang-undang Dasar 1945. Syarat yang diadopsi dalam pasal 222 UU Pemilu itu menyebabkan rakyat tidak bebas memilih karena pilihannya menjadi terbatas.

Syarat tersebut pun harus kembali diujimaterikan ke MK karena telah nyata bertentangan dengan UU Dasar 1945. Meski telah diuji sebelumnya, papar Denny, tapi berdasarkan Peraturan MK, pasal 222 UU Pemilu dapat diajukan kembali ke MK.

Permohonan uji materi kali ini dilakukan oleh 12 orang dari macam bidang. Mereka adalah Busyro Muqoddas (mantan Ketua KPK dan Ketua Komisi Yudisial), M Chatib Basri (mantan Menteri Keuangan), Faisal Basri (akademisi), Hadar Nafis Gumay (mantan Komisioner KPU), Bambang Widjojanto (mantan Pimpinan KPK), dan Rocky Gerung (akademisi). Ada pula Robertus Robet (akademisi), Feri Amsari (Direktur Pusako Universitas Andalas), Angga Dwimas Sasongko (profesional/sutradara film), Dahnil Anzar Simanjuntak (Ketua PP Pemuda Muhammadiyah), Titi Anggraini (Direktur Perludem), dan Hasan Yahya (profesional).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement