Ahad 01 Jul 2018 11:00 WIB

Terkenang Baharuddin Lopa di Penjara Cipinang

Rumahnya di Jakarta Timur sering mati di malam hari karena kekurangan daya.

Mendiang Baharuddin Lopa.
Mendiang Baharuddin Lopa.

Oleh: Setiyardi, jurnalis senior

Sudah menjadi suratan hidup, saya selalu 'terhubung' dengan Baharuddin Lopa --- pendekar hukum yang lurus, kaku seperti bilah kayu kering.

Sudah hampir dua bulan, saya mendekam di 'Wisma Baharuddin Lopa', nama resmi yang disematkan untuk Gedung Blok tipe 5, di Lapas Cipinang ini. Blok ini sekarang dihuni sekitar 1200 narapidana. Namanya diabadikan karena pernah menjadi Dirjen Pemasyarakatan yang sangat dihormati.

Ya, bagi saya Baharuddin Lopa bukan nama asing. Di hari-hari terakhirnya, setelah Presiden Gus Dur mengangkatnya menjadi Jaksa Agung (Juni - Juli 2001), saya memiliki hubungan sangat akrab dengannya.

Awalnya, saat pertama bertemu, saya mengira tokoh kelahiran Sulawesi Selatan ini marah. Saat itu saya masih menjadi wartawan di Majalah Tempo. "Kalian bikin wajah saya seperti ini?", Katanya, sambil menunjuk kartun dirinya, yang dimodifikasi menjadi seorang gladiator melawan koruptor. Ternyata Lopa menyukai kartun itu, dan meminta dibuatkan versi berukuran poster. Saya pun lantas meminta bagian desain Tempo, untuk membuatkannya.

Sejak itu, saya sangat akrab dengan Lopa. Hampir setiap hari saya nongkrong di ruang kerjanya, di Kejaksaan Agung. Dan Lopa tipikal sosok yang sangat selektif untuk mengijinkan orang lain nongkrong di ruang kerjanya. Biasanya saya hanya berdua dengan ajudan, yang selalu membawa pistol di balik seragamnya.

Saat nongkrong itulah, saya bekerja, mereportase segala kegiatan Lopa. Saking akrabnya, saya tak diijinkannya pergi ke kantin sekadar mencari makan siang. Lopa kerap membagi makanan yang dibawanya dari. "Ini tadi istriku bikin makanan enak. Kita bagi dua saja," ujar Lopa. [Ya, dengan alasan 'tertentu' Lopa hanya menyantap makanan yang disediakan istrinya dari rumah

Lopa adalah penegak hukum yang sangat lurus. Suatu hari, dia menghubungi saya karena ingin menulis kolom di Majalah Tempo. Saya sebetulnya agak sulit memenuhi keinginannya. Sebab, pekan sebelumnya dia baru menulis kolom dengan tema lain di Tempo. "Ini soal pemberantasan korupsi. Penting sekali," ujarnya, meyakinkan saya.

Kemudian saya baru mengerti ternyata Lopa menulis juga berharap mendapat rizki halal, dari honor penulis kolom yang tak seberapa itu. Bayangkan, seorang Jaksa Agung berupaya memenuhi kebutuhan keluarganya dari honor menulis kolom!

Meski dikenal keras dalam penegakan hukum, dan tanpa kompromi, Lopa tetap memiliki sisi humanis. Suatu malam dia ngotot mengajak saya ke rumahnya di kawasan Pondok Bambu. Saya dan Lopa naik mobil dinas Jaksa Agung. Kami berdua duduk di belakang, dan sang ajudan duduk di sebelah sopir. Rumahnya terbilang sederhana, dan listriknya kerap mati karena kekurangan daya, terutama jika ada yang menyetrika pakaian saat malam hari.

Sesampainya di rumah, Lopa menggandeng tangan saya. Dia bersijingkat, berjalan pelan-pelan, seperti pencuri yang mengendap-endap di rumah orang lain. "Stttt, kita jangan berisik. Kasihan istriku sudah tidur," bisiknya. Kami pun masuk lewat pintu samping. Kemudian, Lopa mengambil foto yang ada di dinding rumahnya. Dia meminta saya memakai foto itu untuk tulisan di kolom Tempo. Alasan Lopa, wajahnya di foto itu tak terlihat terlalu galak.

Persahabatan saya dengan Jaksa Agung Lopa tiba-tiba terhenti. 3 Juli 2001, saya mendapat kabar Beliau wafat di Arab Saudi. Lopa meninggal di rumah sakit di Riyadh, setelah melakukan dinas resmi dan umrah. Saya menunggunya di rumah duka, di Pondok Bambu, Jakarta Timur. Dan saya, bersama sang ajudan, adalah orang terakhir yang meninggalkan gundukan tanah bertabur bunga setelah upacara pemakaman secara militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Dan kini, 17 tahun kemudian, saya kembali 'bersama' Lopa. Saya dan Darmawan Sepriyossa Asli, bersama 1200 narapidana lainnya, menempati Wisma Baharuddin Lopa yang penuh sesak ini. Al Fatehah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement