Ahad 27 Jan 2019 08:37 WIB

Menganalisis Tabloid dan Selebaran Gelap Jelang Pilpres

Jika tabloid menjelekkan dua paslon, aktornya menginginkan golput lebih banyak.

  Komisioner Bawaslu Kabupaten Semarang membaca tabloid Indonesia Barokah yang diserahkan salah satu masjid penerima kepada Bawaslu Kabupaten Semarang, Rabu (23/1).
Foto: Republika/Bowo Pribadi
Komisioner Bawaslu Kabupaten Semarang membaca tabloid Indonesia Barokah yang diserahkan salah satu masjid penerima kepada Bawaslu Kabupaten Semarang, Rabu (23/1).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ubedilah Badrun

Cara membaca kemunculan tabloid dan selebaran gelap di tengah semakin dekatnya hari kontestasi pilpres 2019 dapat dianalisis dengan tiga cara pandang. Cara pandang konteks, teks, dan aktor.

Jika menggunakan cara pandang konteks yaitu konteks kontestasi politik, maka tabloid dan selebaran gelap itu adalah cara yang mungkin dilakukan jejaring para kontestan, yang mungkin terkoneksi maupun tidak terkoneksi langsung dengan tim kontestan. Mereka menggunakan cara itu untuk mempengaruhi segmen pemilih tertentu yang tak tersentuh media arus utama maupun media digital. Tujuannya mempengaruhi sasaran baik untuk meningkatkan elektabilitas maupun untuk membelah basis pemilih lawan politik.

Selain itu, cara pandang konteks juga memungkinkan bisa membaca situasi psikologi politik kontestan, apakah menunjukan kepanikan atau sekadar melakukan serangan politik. Karena kehadiran tabloid dan selebaran gelap ini terjadi jelang kontestasi maka lebih terbaca sebagai bentuk kepanikan kontestan menghadapi hari-hari jelang pemilihan.

Analisis dengan cara pandang teks adalah adalah perspektif membaca fenomena dengan cara content analysis (analisis isi) dari tabloid dan selebaran gelap tersebut. Jika dianalisis dari teks tabloid dan selebaran gelap tersebut, maka dapat dibaca tabloid dan selebaran gelap tersebut secara teks selain mendiskreditkan kontestan. Selain itu juga secara teks sangat tidak memenuhi standar jurnalistik. Tidak ada verifikasi dan konfirmasi terhadap sumber berita. Maka tabloid dan selebaran gelap tersebut tidak layak dibaca publik. Patut dicurigai sebagai bagian dari agenda politik jelang pilpres.

Sementara jika dianalisis dari perspektif aktor, maka bisa dianalisis dari aktor yang ada di dalam tabloid, siapa saja dewan redaksinya dan bisa dianalisis siapa aktor di balik para dewan refaksi tabloid tersebut. Bisa juga dianalisis ada kemungkinan Aktornya diluar jejaring para kontestan.

Jika dianalisis redaksinya maka tidak ada satu pun nama-nama di tim redaksi yang memiliki sertifikat sebagai jurnalis. Maka ada kemungkinan ada aktor intelektual di balik mereka. Siapa mereka? Itu tugas polisi.

Analisis dengan perspektif aktor juga memungkinkan menemukan aktor lain selain aktor yang terkoneksi dengan kontestan atau aktor yang sama sekali tidak terkoneksi. Pertanyaannya untuk apa mereka melakukan itu?

Jika isi tabloid mendiskreditkan Prabowo dan isi selebaran mendiskreditkan Jokowi, maka aktornya bisa jadi mereka yang termasuk kecewa dengan dua capres tersebut. Karenanya mereka ingin memperbanyak kelompok golput atau golongan putih atau golongan yang tidak mau memilih dalam pemilu.

Jadi dampak elektoralnya memang ada, sesuai sasaran dan tujuanya. Jika sasarannya tepat, misalnya kepada pemilih yang tidak akrab dengan media sosial atau pemilih yang tidak kritis, maka mereka akan terpengaruh apa yang mereka baca. Dan bacaan itu jika intensitasnya tinggi ia akan mempengaruhi cara berfikir dan cara berfikir bisa mempengaruhi pilihan politik. Apakah memilih A, memilih B atau memilih untuk tidak memilih. Tentu untuk mengetahui pengaruh tabloid dan selebaran gelap pada pilihan politik masyarakat memerlukan cara lebih detail dengan cara-cara ilmiah. Di antaranya dengan penelitian survei yang memegung teguh prinsip prinsip metode ilmiah.

Lebih dari itu, sikap kritis dan rasional masyarakat terhadap berbagai informasi yang diterima menjadi sangat penting. Sebab dengan cara itu berbagai informasi yang merusak demokrasi dan harmoni sosial dengan sendirinya akan ditolak masyarakat.

Problemnya seberapa kritis, seberapa rasional masyarakat merespon informasi? Itu problem substansial dari minimnya edukasi politik sehat. PR utama partai politik, penyelenggara pemilu, civil society yang tak kunjung tunai.

*) Analis Sosial Politik UNJ & Direktur Puspol Indonesia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement