Sabtu 30 Jun 2018 07:09 WIB

KPK tak Khawatir 3 Terpidana Korupsi Ajukan PK

KPK yakin dengan pembuktian di persidangan.

 Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Juru Bicara KPK Febri Diansyah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku tidak khawatir terhadap beberapa permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh sejumlah narapidana korupsi. Sebab, KPK yakin dengan pembuktian di persidangan.

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan apalagi kami yakin dengan pembuktian yang sudah dilakukan sebelumnya-sebelumnya," kata juru bicara KPK Febri Diansyah, di Jakarta, Jumat (30/6).

Setidaknya sudah ada tiga terpidana korupsi setelah pensiun hakim agung Artidjo Alkostar yang mengajukan PK. Pertama, mantan ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum terpidana suap pembangunan P3SON Hambalang dan tindak pidana pencucian uang.

Kedua, mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari terpidana perkara korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes). Ketiga, mantan Menteri Agama Suryadharma Ali narapidana korupsi pelaksanaan ibadah haji periode 2010-2013.

Febri mengatakan KPK sudah membuktikan fakta-fakta selama proses persidangan. Ia menambahkan proses hukum juga sudah menguji fakta-fakta yang diajukan oleh KPK tersebut dan hakim telah menjatuhkan hukuman. 

“Jadi kalau sekarang ada pengajuan PK, ya kita hadapi dan kami tentu tetap dalam posisi awal bahwa kasus ini sudah sangat kuat dan terbukti sampai di pengadilan," ujar Febri.

KPK juga yakin Mahkamah Agung dapat bersikap independen dan imparsial terhadap pengajuan PK tersebut. "Jadi kalau tiba-tiba sekarang banyak yang mengajukan PK, mekanisme hukumnya ada,” kata dia.

Febri juga yakin hakim-hakim yang ditunjuk oleh pengadilan merupakan juru adil yang memang punya kapasitas dan pemahaman yang sangat baik terkait dengan penanganan kasus korupsi. “Jadi kita lihat saja hasilnya seperti apa karena semuanya sudah diuji," kata Febri.

photo
Anas Urbaningrum (Republika)

Pada sidang PK di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, kemarin, Anas Urbaningrum mempersoalkan kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 57,59 miliar dan 5,26 juta dolar AS. Ia pun mengibaratkan hal tersebut dengan ketua RT yang sedang menjalani pemilihan. 

“Misal seorang ketua RT, dalam pemilihan kandidat, ia mendapat sumbangan simpatisan masing-masing. Kadang ada tim sukses mendukung kandidat, sumbangan independen tidak berasal uang negara. Lalu, apakah bisa dipersoalkan kandidat divonis membayar uang pengganti. Apakah dana sumbangan ada relevansi uang pengganti," tanya Anas Urbaningrum kepada ahli yang dihadirkannya.

Dalam sidang tersebut, Anas menghadirkan dosen hukum administrasi negara Universitas Indonesia Dian Puji Simatupang. Dia mengatakan uang negara harus punya dokumen.

“Kalau pindah pihak ketiga menjadi uang privat, tidak mungkin menjadi ketua dari pejabat negara diberikan, tidak ada relevansi. Kecuali saya menanyakan seluruh dokumen adiministrasi dan menandatangani itu uang negara," ujar Dian.

Kesimpulan dari sidang PK Anas akan dilakukan dua pekan lagi. Anas pun berharap ia mendapat keadilan. "(Sidang PK) Setelah piala dunia selesai, juaranya ada, Insya Allah PK-nya mudah-mudahan bisa diterima,” kata dia.

Anas mengatakan PK merupakan perjuangan keadilan. “Saya tidak ingin apa-apa, sejak awal ketika disidangkan saya hanya minta diadili, jangan saya 'dijaksai', jangan dihakimi, saya hanya ingin diadili buat saya sudah cukup, berdasarkan fakta, bukti, bahkan pakai logika," kata Anas, seusai sidang.

Pada tingkat pertama, Anas divonis 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan. Ia juga divonis dengan kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 57,59 miliar dan 5,26 juta dolar AS.

Pada tingkat banding, Anas mendapat keringanan hukuman menjadi 7 tahun penjara. Namun, KPK mengajukan kasasi terhadap putusan itu sehingga Mahkamah Agung memperberat hukuman Anas menjadi 14 tahun penjara ditambah denda Rp 5 miliar subsider 1 tahun 4 bulan kurungan.

Ia juga diharuskan membayar uang pengganti Rp57,59 miliar subsider 4 tahun kurungan. Putusan masih ditambah hukuman pencabutan hak dipilih untuk menduduki jabatan publik.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement