REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti dari lembaga survei Indikator Politik Indonesia, Mochamad Adam Kamil, menilai peta koalisi di pemilihan presiden (pilpres) 2019 masih harus menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap gugatan ambang batas pengajuan calon presiden (presidential threshold). Jika putusan MK membatalkan presidential threshold sebesar 20 persen, peta koalisi akan berubah.
"Jika dikabulkan, artinya tidak ada ambang batas, dan jika ambang batas dihilangkan maka akan banyak poros yang muncul," katanya kepada Republika.co.id, Jumat (29/6).
Adam melanjutkan, dengan dihapuskannya ambang batas maka setiap partai akan leluasa mengusung jagoannya, sekaligus berharap jagoannya akan menang dalam pilpres 2019. Oleh karena itu, ia berpandangan bahwa peta koalisi kemungkinan besar masih menunggu putusan MK tentang presidential threshold.
Sejauh ini, koalisi yang ada adalah koalisi pendukung Joko Widodo dan koalisi Gerindra-PKS-PAN. Sementara itu, Demokrat dan PKB masih belum menentukan arah politiknya. Dengan kondisi saat ini, Adam menilai, putusan MK memang menentukan segala kemungkinan. Apakah akan bertambah atau justru berkurang.
"Jika PT dihilangkan maka akan banyak poros, tapi jika poros yang saat ini stabil, kemungkinan poros ketiga akan dipimpin oleh Demokrat dan atau PKB," ucapnya.
Baca juga: MK Didesak Segera Proses Uji Materi Ambang Batas Pencapresan
Sebanyak 12 pemohon uji materi ambang batas pencalonan presiden meminta MK segera memproses permohonan tersebut. Putusan atas uji materi ambang batas itu juga dinilai sangat penting untuk disegerakan.
"Kami meminta agar MK segera memberikan putusan atas uji materi ini. Sebab, soal presidential threshold ini adalah hal yang penting dan strategis bagi adil dan demokratisnya pemilihan presiden (pilpres). Sehingga, sangat layak diputus dalam waktu segera," ujar salah satu pemohon, Hadar Nafis Gumay, di gedung MK, Kamis (21/6).
Kedua, lanjut dia, MK pernah dengan bijak memutus perkara-perkara pemilu dengan cepat, misalnya soal KTP-el sebagai alat verifikasi pemilu, yang diproses hanya dalam beberapa hari, dan diputus dua hari menjelang pemilu. Ketiga, putusan yang cepat, sebelum proses pendaftaran capres pada tanggal 4–10 Agustus 2018 mendatang, tentu adalah sikap yang bijak dari MK.
Sebab, hal ini penting untuk menjaga kelangsungan tahapan pilpres. "Kami juga memohon agar pembatalan Pasal 222 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 yang menghapuskan syarat ambang batas pencalonan capres dapat diberlakukan segera, atau paling lambat sejak pilpres 2019. Bukan diberlakukan mundur untuk pilpres selanjutnya, sebagaimana putusan terkait pemilu serentak dalam putusan MK 2014," kata mantan komisioner KPU periode 2012-2017 itu menegaskan.
Dengan demikian, kata Hadar, kerugian konstitusional para pemohon betul-betul terlindungi, dan pelanggaran konstitusi tidak dibiarkan berlangsung serta mencederai pelaksanaan pilpres 2019. "Kami paham betul bahwa permohonan uji materi soal ini telah dilakukan berulang kali. Tetapi, justru karena sangat prinsipnya persoalan ini maka izinkan kami memperjuangkan lagi hak rakyat Indonesia untuk secara bebas memilih calon presidennya," katanya menambahkan.
Sebelumnya, pada 13 Juni lalu, 12 pemohon uji materi atas Pasal 222 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 atau pasal tentang ambang batas pencalonan presiden sudah mendaftarkan permohonan uji materi tersebut ke MK secara daring. Pada Kamis (21/6) sore, 12 pemohon tersebut mendatangi MK untuk menyerahkan dokumen fisik dan bukti-bukti permohonan tersebut.
Ke-12 pemohon adalah perseorangan WNI dan badan hukum publik nonpartisan yang mempunyai hak pilih dalam pilpres, pembayar pajak, serta berikhtiar untuk terus menciptakan sistem pemilihan presiden yang adil dan demokratis bagi seluruh rakyat Indonesia. Ke-12 pemohon adalah M Busyro Muqoddas, M Chatib Basri, Faisal Basri, Hadar Nafis Gumay, Bambang Widjojanto, Rocky Gerung, Robertus Robet, Feri Amsari, Angga D Sasongko, Hasan Yahya, Dahnil A Simanjuntak, dan Titi Anggraini.