Sabtu 23 Jun 2018 11:18 WIB

Erdogan, Ince, dan Pemilu Bersejarah Turki

Kini Erdogan mengklaim kemunculan opsisi hanyalah permainan barat.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan
Foto: PA-EFE/KAYHAN OZER
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Abdullah Sammy

Turki akan menjalani pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden bersejarah, Ahad (24/6) ini. Pemilihan umum kali ini akan menempatkan presiden dengan rentang kekuasaan terbesar sejak negara Turki modern terbentuk serta memengaruhi dinamika regional.

Bentuk baru presidensialisme Turki diusulkan oleh Recep Tayyip Erdogan dan partainya, AKP, tahun lalu. Melalui referendum kontroversial tahun lalu, warga Turki kemudian sepakat memindahkan kekuasaan tertinggi dari perdana menteri ke presiden yang akan dipilih melalui pemilihan umum nanti.

Selepas pemilihan nanti, posisi perdana menteri dan kekuasaan eksekutif dialihkan ke presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden terpilih kemudian berhak memilih secara langsung wakil presiden serta menteri-menteri dan birokrat serta hakim.

Anggaran nasional yang sebelumnya dirancang parlemen juga nantinya akan diajukan presiden. Bila parlemen menolak menyetujui, anggaran tahun sebelumnya akan berlaku.

Sejauh ini, kubu pemerintah yang dipimpin Recep Tayyip Erdogan diunggulkan untuk memenangkan pemilihan presiden dan parlemen Turki. Walau begitu, sejumlah media Barat memprediksi Erdogan akan kesulitan dalam pemilu kali ini dikarenakan isu ekonomi.

Erdogan dan partainya, AKP, memang tak tergoyahkan dalam peta politik Turki sejauh ini. Sejak 1923, AKP sukses memenangkan 12 pemilihan umum. Ini menjadi rentetan kemenangan terpanjang dalam sejarah perpolitikan Turki.

Dalam kampanyenya, Erdogan kerap menyuarakan kembali romantisme kejayaan Turki di masa lalu. Hal ini yang kerap dikritisi media Barat maupun Israel. CNN, misalnya, mengangkat tajuk berjudul "Perjudian Erdogan Bisa Menjadi Bumerang dalam Pemilihan Umum".

CNN menuliskan bahwa Erdogan mengandalkan kesuksesannya dalam membangun Turki yang lebih modern. "Erdogan dalam kampanyenya menunjukkan catatan keberhasilannya, seperti membangun infrastruktur jalan, rumah sakit, dan berbagai fasilitas umum. Umumnya pesan yang disampaikan selalu sama, yakni keberhasilan membangun Turki yang lebih modern," tulis CNN dalam laporannya, Jumat (22/6).

Namun, kampanye itu dinilai bisa menjadi bumerang karena di sisi lain masyarakat Turki sedang mengalami fase ekonomi yang sulit. Ini ditambah mulai munculnya tokoh penantang dari oposisi, yakni Muharrem Ince.

Kini Erdogan mengklaim kemunculan opsisi hanyalah permainan Barat. AKP menilai isu tentang ekonomi dan pelemahan lira sengaja dikipas barat demi menggoyang hegemoni politik Erdogan. "Ada kekuatan asing yang menunggangi pemilu kali ini. Tapi, mereka harus tahu bahwa sekalipun yang maju dalam pemilu adalah mayat dari Erdogan, dia tetap dipilih rakyat," kata pendukung garis keras AKP, Gulbahar Turan, dalam kampanye terakhir di Istanbul.

Sementara itu, dalam kampanyenya Erdogan berjanji akan meningkatkan perekonomian Turki dan menaikkan standar hidup dan penghasilan warganya. "Tujuan baru Turki adalah berada di antara negara-negara berpenghasilan tinggi. Turki tidak hanya akan mandiri dalam industri pertahanan, tetapi juga akan menjadi salah satu negara pengekspor utama," kata mantan wali kota Istanbul ini.

Dia juga bertekad lebih banyak melibatkan kaum hawa dalam perekonomian. Partisipasi angkatan kerja perempuan ditargetkan melonjak hingga lebih dari 40 persen hingga akhir 2023.

Selama berada di bawah kepemimpinan Erdogan, Turki telah mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup besar. Namun, belakangan nilai mata uang lira Turki agak terpukul dan kehilangan 20 persen nilainya terhadap dolar.

Erdogan telah menentang untuk menaikkan suku bunga karena menganggapnya sebagai musuh dari pertumbuhan ekonomi. Bagaimanapun, momen pemilu dapat menunjukkan bahwa pemimpin Turki memiliki kontrol yang lebih besar atas ekonomi.

Politikus 64 tahun kelahiran Istanbul itu menjabat sebagai presiden Turki sejak 2014. Sebelumnya, pada periode 2003-2014, Erdogan memegang posisi perdana menteri, dikutip dari laman Al-Araby.

Terkait kondisi regional, Erdogan dan penantang utamanya dalam pemilihan presiden sama-sama berjanji memulangkan jutaan pengungsi Suriah di tengah keresahan warga terkait jumlah besar pengungsi di Turki.

Lebih dari 3,5 juta pengungsi Suriah, yang lari dari perang di negaranya, tinggal di Turki. Kehadiran mereka menjadi pokok perdebatan panas dalam pemilihan umum itu dan beberapa orang menganggap pengungsi sebagai beban ekonomi dan mengancam ketersediaan lapangan kerja.

"Segera setelah pemilihan umum, kami akan berupaya membuat semua wilayah di Suriah aman, berawal dari wilayah di dekat perbatasan negara kami, lalu membantu pemulangan semua tamu kami," kata Erdogan dalam kampanye di Kota Gaziantep, kemarin.

"Namun, untuk melakukan semua itu, kita harus menang dalam pemilihan umum pada 24 Juni. Ketenangan Suriah bergantung pada kuatnya Turki dan jika tidak, maka Suriah akan hancur," ujar dia.

Erdogan mengatakan, sekitar 200 ribu pengungsi Suriah sudah kembali ke negara asalnya di wilayah utara Suriah yang kini dikuasai oleh Turki dan sekutu mereka, setelah Ankara menggelar operasi militer untuk memukul mundur gerilyawan Kurdi dan kelompok bersenjata ISIS.

Meski demikian, upaya mengamankan wilayah luas di Suriah demi memfasilitasi pemulangan tiga juta lebih pengungsi akan menjadi tantangan yang jauh lebih besar. Selain itu, Turki juga harus berhadapan dengan kekuatan lain yang dominan di Suriah, termasuk Iran dan Rusia.

Gaziantep, yang terletak hanya 50 km dari perbatasan Suriah, kini menjadi tempat tinggal bagi 383 ribu warga Suriah atau 20 persen dari populasi kota, demikian data dari Kementerian Dalam Negeri.

Kekerasan interkomunal antara warga Turki lokal dan pengungsi Suriah naik tiga kali lipat pada semester kedua tahun lalu. Di sejumlah kota besar, kehadiran pengungsi menjadi penyebab rivalitas etnis, ketimpangan ekonomi, dan kekerasan urban, demikian laporan dari lembaga International Crisis Group pada Januari lalu.

Sementara itu, Muharrem Ince, pada Kamis (21/6), mengatakan akan memulihkan hubungan dengan Presiden Suriah Bashar al-Assad dan menunjuk seorang duta besar untuk Damaskus hanya 10 hari setelah menjabat sebagai presiden. "Dengan kebijakan berorientasi perdamaian, kami akan memulangkan para pengungsi Suriah dengan gegap gempita," kata dia di depan ratusan ribu pendukung di basis CHP, Izmir.

Selama ini, Erdogan membantu para gerilyawan yang ingin menggulingkan pemerintahan Assad di Suriah dan mendesak agar sang presiden tetangga untuk mengundurkan diri.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement