Kamis 21 Jun 2018 17:40 WIB

Presidential Threshold Digugat untuk Hindari Capres Tunggal

Ketentuan mengenai presidential threshold diatur dalam Pasal 222 UU 7/2017.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Andri Saubani
Sejumlah aktifis pro demokrasi yang mendaftarkan Pengujian Undang-Undang No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, membentangkan spanduk seusai melengkapi syarat gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK),Jakarta, Kamis (21/6).
Foto: Antara/Reno Esnir
Sejumlah aktifis pro demokrasi yang mendaftarkan Pengujian Undang-Undang No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, membentangkan spanduk seusai melengkapi syarat gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK),Jakarta, Kamis (21/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu pemohon uji materi ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), Hadar Nafis Gumay, mengatakan, ada sembilan alasan yang mendasari permohonan tersebut. Salah satu alasan gugatan adalah presidential threshold berpotensi menghadirkan capres tunggal.

"Kami mengajukan permohonan ini sebagai orang-orang nonpartisan dan tidak ada tujuan untuk kepentingan paslon tertentu atau parpol tertentu dalam pilpres," ujar Hadar kepada wartawan di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (21/6).

Hadar melanjutkan, permohonan uji materi pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 sudah pernah diajukan sebanyak 10 kali. Namun, pihaknya tetap melakukan pengajuan kembali dengan menimbang urgensinya menjelang pencalonan presiden.

"Kami masih yakin akan permohonan ini dimungkinkan (untuk dikabulkan) sepanjang ada argumentasi atau alasan yang berbeda dari sebelumnya. Setidaknya ada sembilan alasan yang mendasari permohonan kami," kata Hadar menambahkan.

Sembilan alasan uji materi UU 7/2017 itu adalah:

  1. Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 mengatur “syarat” capres dan karena itu bertentangan dengan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 yang hanya mendelegasikan pengaturan “tata cara”.
  2. Pengaturan delegasi “syarat” capres ke UU ada pada Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 dan tidak terkait pengusulan oleh parpol sehingga pasal 222 UU 7/2017 yang mengatur “syarat” capres oleh parpol bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945.
  3. Pengusulan capres dilakukan oleh parpol peserta pemilu yang akan berlangsung, bukan “Pemilu anggota DPR sebelumnya” sehingga pasal 222 UU Tahun 2017 bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
  4. Syarat pengusulan capres oleh parpol seharusnya adalah close legal policy, bukan open legal policy sehingga pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
  5. Penghitungan ambang batas pencalonan presiden berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya adalah irasional dan karena itu pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
  6. Penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya telah menghilangkan esensi pelaksanaan pemilu dan karena itu pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945.
  7. Presidential threshold saat ini menghilangkan esensi pemilihan presiden karena lebih berpotensi menghadirkan capres tunggal sehingga bertentangan dengan pasal 6A ayat (1), (3), dan (4) UUD 1945.
  8. Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 dianggap tidak langsung bertentangan dengan konstitusi, quod non, tetapi potensi pelanggaran konstitusi sekecil apa pun yang disebabkan pasal tersebut harus diantisipasi Mahkamah agar tidak muncul ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
  9. Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 bukanlah constitutional engineering, tetapi justru adalah constitutional breaching karena melanggar Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 22E ayat (1) dan (2), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Sebelumnya, pada 13 Juni lalu, 12 pemohon uji materi atas pasal 222 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 atau pasal tentang ambang batas pencalonan presiden sudah mendaftarkan permohonan uji materi tersebut ke MK secara daring. Pada Kamis sore, 12 pemohon tersebut mendatangi MK untuk menyerahkan dokumen fisik dan bukti-bukti permohonan tersebut.

Ke-12 pemohon adalah perseorangan WNI dan badan hukum publik nonpartisan yang mempunyai hak pilih dalam pilpres, pembayar pajak, serta berikhtiar untuk terus menciptakan sistem pemilihan presiden yang adil dan demokratis bagi seluruh rakyat Indonesia. Ke-12 pemohon adalah M Busyro Muqoddas, M Chatib Basri, Faisal Basri, Hadar Nafis Gumay, Bambang Widjojanto, Rocky Gerung, Robertus Robet, Feri Amsari, Angga D Sasongko, Hasan Yahya, Dahnil A Simanjuntak, dan Titi Anggraini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement