Senin 11 Jun 2018 12:33 WIB

Rencana Anies Baswedan Bentuk Badan Reklamasi Ditolak

Badan Reklamasi dinilai akan memuluskan jalan reklamasi.

Rep: Mas Alamil Huda/ Red: Nur Aini
Spanduk penyegelan terlihat disalah satu bangunan di Proyek Reklamasi Pulau D, Teluk Jakarta, Kamis (7/6).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Spanduk penyegelan terlihat disalah satu bangunan di Proyek Reklamasi Pulau D, Teluk Jakarta, Kamis (7/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana Gubernur Anies Baswedan membentuk Badan Pelaksana Reklamasi menuai penolakan dari berbagai pihak. Pembentukan badan tersebut dinilai justru bertentangan dengan janjinya selama kampanye yang menyatakan menolak dan akan menghentikan reklamasi di Teluk Jakarta.

Salah satu yang menentang pembentukan Badan Pelaksana Reklamasi datang dari Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ). Mereka yang dari awal menolak adanya reklamasi serta mengadvokasi para nelayan pesisir Jakarta menilai pembentukan badan itu hanya akan memuluskan jalan panjang reklamasi.

Aktivis KSTJ Nelson Simamora menyesalkan dasar hukum yang digunakan Anies dalam membentuk badan tersebut, yakni Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 Tahun 1995. Aturan tersebut digunakan mantan gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai dalih dalam menerbitkan izin pulau reklamasi.

Nelson mengatakan, di pasal 6 keppres tersebut disebutkan bahwa tugas Badan Pengendali Reklamasi adalah mengendalikan perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan reklamasi. Sementara itu, Badan Pelaksana Reklamasi sebagaimana disebutkan dalam pasal 8 bertugas untuk menyelenggarakan reklamasi.

"Sangat jelas pembentukan badan khusus oleh Gubernur Anies hanya akan memuluskan proyek reklamasi Teluk Jakarta yang akan bertentangan dengan janji kampanyenya sendiri untuk menghentikan reklamasi," ujar Nelson, Senin (11/6).

Aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta itu mengatakan, Anies seharusnya membongkar bangunan di pulau reklamasi dan tak hanya secara seremonial menyegelnya. Tak adanya izin mendirikan bangunan (IMB) sudah lebih dari cukup untuk dijadikan dasar membongkar bangunan. Sebab, kata Nelson, berbagai peraturan perundang-undangan memandatkan hal tersebut.

Dia menyebutkan, beberapa aturan itu tertuang di Pasal 39 UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, Pasal 91 PP Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 28 Tahun 2002, serta Pasal 18-Pasal 23 Pergub Nomor 128 Tahun 2012 tentang Pengenaan Sanksi Pelanggaran Penyelenggaraan Bangunan Gedung.

Dalam berbagai aturan hukum tersebut, kata Nelson, disebutkan secara tegas bahwa langkah pembongkaran diterapkan terhadap bangunan yang tidak memiliki IMB. Bahkan, KSTJ meminta Anies membawa persoalan tersebut ke ranah pidana. "Koalisi mendorong Anies untuk juga menerapkan sanksi pidana penjara selama tiga tahun kepada pengembang karena jumlah bangunan tanpa IMB yang dibangun luar biasa banyak, mencapai 932 bangunan, serta kemungkinan tetap membangkang dan melanjutkan pembangunan," ujar dia.

Nelson mengatakan, Pulau D reklamasi sudah disegel dua kali pada masa pemerintahan Gubernur Ahok kareana tak memiliki IMB. Bahkan, pemerintah pusat melalui Komite Gabungan juga melakukan penyegelan. Namun, kata Nelson, pembangunan gedung-gedung beserta fasilitas-fasilitas pendukungnya masih saja berlangsung.

Anies, menurut dia, seharusnya memastikan bahwa seluruh kegiatan pembangunan di atas Pulau D berhenti, dengan menindaklanjutinya melalui pembongkaran. Hal itu perlu dilakukan untuk memberi contoh tegas bahwa setiap orang haruslah tunduk pada undang-undang.

Penolakan pembentukan Badan Pelaksana Reklamasi juga datang dari Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Gembong Warsono. Ia menilai pembentukan badan tersebut mubazir. Jika Anies menggunakan Keppres 52/1995 sebagai dasar hukum, kata dia, gubernur otomatis bertindak selaku kepala di dalam badan tersebut.

"Kalau bicara keppres itu, gubernur kan ex-officio. Kalau ex-officio maka apa yang mesti dibentuk lagi. Jadi, sebetulnya enggak ada hal yang harus dilakukan dalam pembentukan itu karena gubernur secara otomatis ex-officio," ujar dia.

Di sisi lain, Gembong mengkritisi langkah yang ditempuh Anies dengan melakukan penyegelan terlebih dahulu. Hal itu menurut dia justru terbalik atau menyalahi hukum. Penyegelan seharusnya dilakukan setelah adanya aturan, dalam hal ini perda, sebagai turunan Keppres 52/1995 untuk memberi kepastian perlakuan terhadap pulau reklamasi.

"Justru sebetulnya, alat untuk menyegel itu ketika perdanya sudah disahkan. Kan ini masih jadi kewenangan pemerintah pusat. Jadi, soal reklamasi ini pemberi izinnya pemerintah pusat," ujar dia.

Anies sebelumnya mengatakan akan membentuk Badan Pelaksana Reklamasi sebagai kelanjutan dari penyegelan yang telah dilakukan di pulau reklamasi pada Kamis (7/6). Pembentukan badan ini didasari dari Keppres Nomor 52 Tahun 2015 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. "Pada fase sekarang memang disegel. Nanti sesudah ada Badan Pelaksana Reklamasi sesuai amanat Keppres 52 Tahun 1995 disusun rencana untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil," kata dia.

Anies mengatakan, rencana yang disusun oleh Badan Pelaksana Reklamasi itulah yang akan diterjemahkan dalam tata ruang yang nantinya dibuat peraturan daerah. Dari peraturan daerah tersebut, kata dia, pembahasan terkait wilayah yang menjadi zona peruntukan masing-masing baru bisa dimulai.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement