REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK--Lembaga Perlindungan Anak Generasi mengecam dan sangat menyesalkan atas berulangnya kasus pelecehan seksual terhadap anak yang kembali terjadi di wilayah Depok. Kali ini kasusnya menimpa siswa kelas VI sebuah sekolah dasar di wilayah Tugu .
Pelakunya adalah seorang oknum guru Bahasa Inggris yang mempunyai kelainan homoseksual berinisial AR (23 tahun). Ia melakukan aksi pelecehan seksual terhadap puluhan murid pria di kelas VI di dua kelas di SDN wilayah Tugu Cimanggis, Kota Depok. Aksi bejat AR ini diduga sudah dilakukan sejak dua tahun lalu.
Berdasarkan pengakuan para korban, pelaku AR kerap melakukan aksinya saat jam istirahat sekolah. Mereka ditekan oleh gurunya untuk membuka celana mereka supaya nilainya naik. Kalau tidak mau, nilainya akan diturunkan.
"Dari peristiwa ini, menunjukkan bahwa pencanangan Depok sebagai Kota Layak Anak (KLA) belum mampu menjadikan Depok menjadi kota yang aman dan nyaman bagi anak. Program Sekolah Ramah Anak belum menyentuh secara substansi dan lingkungan sekolah belum menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak didik," ujar Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Generasi, Ena Nurjanah, di Depok, Kamis (7/6).
Generasi menuntut agar pelaku diproses hukum dengan sanksi pidana maksimal 15 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar. "Sanksi hukumannya bahkan bisa ditambah sepertiga karena pelaku adalah seorang guru yang seharusnya menjadi pengayom siswa didik (Pasal 81-82 UU Perlindungan Anak no 35 tahun 2014)," kata Ena menegaskan.
Diutarakan Ena, kejadiannya sudah berlangsung selama dua tahun. Dua tahun bukanlah waktu yang singkat. Mengapa bisa begitu lama perbuatan bejat terjadi di sekolah tanpa diketahui pihak sekolah?
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimanakah sistem pengawasan di sekolah? Mengapa anak-anak tidak ada yang berani menyampaikan perbuatan bejat guru itu kepada guru yang lain ataupun kepada kepala sekolah?
Mengapa tidak ada telepon pengaduan yang terpampang di sekolah sebagai upaya perlindungan pertama bagi anak didik jika menemui kekerasan seksual di sekolahnya? (Permendikbud 82/2015 tentang sekolah aman).
Mengapa laporan orang tua kepada pihak sekolah tidak mendapat respons yang tepat hingga akhirnya para orang tua kecewa dan melaporkan sendiri ke pihak kepolisian.
"Hal ini menunjukkan bahwa belum ada pemahaman yang utuh mengenai sekolah yang ramah bagi anak di lingkungan sekolah tersebut. Anak-anak tidak tahu harus berbuat apa ketika mereka mengalami pelecehan seksual. Pihak sekolah pun tidak siap bagaimana memberi solusi yang tepat terhadap kasus kekerasan seksual yang menimpa anak didik," katanya.
Generasi mendesak kepada Dinas Pendidikan Kota Depok untuk bertanggung jawab terhadap kejadian yang terjadi di SD tersebut. "Mereka harus berkoordinasi dengan lembaga P2TP2A , dalam menangani anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual maupun korban pelanggaran hak anak lainnya (Permen PPPA No 6/2015)," harap Ena.
Menurut Ena, anak-anak yang menjadi korban sesungguhnya sudah mengalami kejadian luar biasa dengan pelecehan seksual yang dialaminya. Sehingga, mereka harus mendapatkan penanganan serius dari para psikolog yang ada di lembaga P2TP2A.
"Para ahli juga disarankan untuk memulihkan kondisi psikis anak dalam mengatasi luka psikis yang pernah dialaminya ketika menjadi korban pelecehan seksual sesama jenis. Dan juga mengusahakan agar anak-anak ini tidak membawa bibit perilaku menyimpang ketika mereka telah beranjak dewasa," ujar Ena.