REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Agung HM Prasetyo menilai kekhawatiran sejumlah pihak akan hilangnya kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak akan terjadi, meski delik tindak pidana korupsi masuk dalam rancangan undang-undang revisi kitab undang-undang hukum pidana (RUU RKUHP). Menurut Prasetyo, kewenangan KPK dalam menangani pemberantasan tidak pidana korupsi tidak akan tereduksi.
"Enggak, enggak, coba Anda pelajari dulu. Yang pasti KPK tetap ada, kejaksaan tetap ada, Polri ada, semuanya bisa melakukan penanganan perkara korupsi," ujar Prasetyo sat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (5/6).
Ia juga meyakini delik korupsi dalam RKUHP yang tengah dibahas DPR dan pemerintah tidak akan memperlemah kewenangan KPK dalam menangani korupsi. Sebab, kata Prasetyo, saat ini korupsi menjadi isu krusial yang harus diselesaikan bersama semua pihak.
"Sekarang ini bagaiamana supaya semuanya menyadari betapa korupsi itu menjadi isu tersendiri," kata dia.
Karena itu, lanjut dia, kekhawatiran lainnya bahwa pengadilan tidak pidana korupsi (tipikor) terancam dengan adanya RKUHP tersebut tidak akan terjadi. "Ya akan tetap ada, pidana korupsi ada di Pengadilan Tipikor, beda dengan pidana umum. Jadi, coba pahami dulu kebenaran daripada UU kita. Yang pasti semuanya punya semangat yang sama," ujar Prasetyo.

Infografis Alasan KPK Tolak Revisi KUHP
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, KPK sudah mewanti-wanti sejak awal risiko dimasukkannya pasal korupsi ke dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Sayangnya peringatan KPK ini tidak juga diindahkan oleh sang pembuat undang-undang.
"Kami mewanti-wanti sejak awal ada risiko besar dalam pemberantasan korupsi kalau model ini masih diteruskan," ungkap Febri, Selasa (5/6).
Febri kembali mengungkapkan jika pasal korupsi dimasukkan dalam KUHP, risikonya sangat besar. Bukan hanya KPK, kata dia, penegak hukum yang lain pun pasti paham bagaimana kondisi saat ini dan bagaimana upaya pemberantasan korupsi sering kali mengalami kendala.
"Regulasi-regulasi yang ada tentu saja seperti kemarin putusan MK menyatakan menghilangkan kata dapat semakin mempersulit pemberantasan korupsi, dan justru membuat kerumitan sendiri dan menguntungkan para pelaku. Ini yang kita harapkan dapat ditindaklanjuti presiden dan DPR," ujarnya.
Oleh karena itu, sambung Febri, kewenangan KPK adalah khusus menangani pemberantasan korupsi sebagaimana diatur dalam UU Tipikor. Jangan sampai, kata dia, masuknya pasal korupsi ke dalam KUHP malah membuat celah atau cara baru untuk merevisi UU KPK ke depannya.
"Kita tahu dorongan revisi UU KPK selalu melemahkan KPK, seperti dulu penyadapan. Kemudian, masa waktu tahanan KPK dan batasan-batasan lain," ucapnya.
Oleh karena itu, pihaknya mengirimkan surat kepada presiden. Agar jangan sampai KPK dilemahkan dan kejahatan korupsi makin merajalela.
"Makanya kami mengirimkan surat kepada presiden karena kami percaya presiden punya komitmen kuat dalam pemberantasan korupsi," katanya menegaskan.