Senin 04 Jun 2018 20:48 WIB

Jokowi Minta Pandangan Cendekiawan Muslim Soal Radikalisme

Selain radikalisme, Jokowi juga meminta pandangan tentang khilafah.

Rep: Debbie Sutrisno/ Red: Bayu Hermawan
Presiden Jokowi
Foto: Fergi Nadira
Presiden Jokowi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengundang sejumlah cendekiawan Muslim ke Istana Negara. Dalam pertemuan ini, Jokowi meminta pandangan kepada mereka terkait perkembangan radikalisme, khilafah hingga intoleransi di Indonesia.

Cendekiawan muslim Azyumardi Azra mengatakan, Presiden Jokowi meminta masukan dan pemikiran para cendekiawan terkait meningkatnya radikalisme dan intoleransi, hal penting yang harus dipikirkan semua pihak. Dalam pertemuan ini juga dibicarakan mengenai hal yang bisa merusak ketahanan, sosial, budaya, dan ekonomi termasuk mengenai kesenjangan di daerah.

"Ya itu yang paling penting," kata Azyumardi di Istana Negara, Senin (4/6).

Azyumardi menuturkan, yang diundang dalam pertemuan ini sekitar 42 orang. Mereka berlatar belakang cendekiawan, sosiolog, dan budayawan. Dalam pertemuan itu, Azyumardi mengatakan dirinya memberikan usulan bagaimana menghadapi sikap intoleransi. Sekitar 12 perwakilan yang memberikan masukan karena pertemuan tidak terlalu lama, sekitar dua jam.

Azyumardi mengungkapkan, usulan yang dia berikan, yaitu untuk menghadapi intoleransi memang harus komprehensif. Pemerintah harus memperkuat kembali koalisi sosial melalui, misalnya, pemantapan kembali semangat kebangsaan, kemudian juga kearifan lokal dan penguatan Islam wasatiyah.

Menurutnya, hal itu bisa dilakukan melalui lokakarya di perguruan tinggi melalui para dosen, guru, kemudian juga ketua-ketua BEM, yang memang ini rentan terhadap intoleransi dan radikalisme, terutama konsen topiknya terkait peningkatan intoleransi, radikalisme.

Terkait dengan penyebaran paham khilafah, Azyumardi mengatakan bahwa Presiden Jokowi hingga sekarang telah meminta agar khatib di sejumlah masjid didominasi oleh mereka yang tidak memberikan ceramah mengenai paham kekhalifahan.

Hal ini dilakukan karena dalam salah satu survei yang dilakukan terdapat sekitar 40 masjid di wilayah DKI yang memberikan ceramah mendekati radikalisme. Penceramah justru mengajarkan radikal dan intoleran.

"Tapi Pak Jokowi menegaskan bahwa sebetulnya masalah itu sedikit banyak sudah diatasi. Karena dia sudah menugaskan ada orang, pimpinan dari lembaga sosial keagamaan tertentu untuk melakukan perbaikan di dalam masjid," ujarnya.

Cendekiawan Muslim lainnya, Komaruddin Hidayat menambahkan, dalam forum tersebut juga dibahas mengenai maraknya ceramah keagamaan yang mengarah pada sistem kekhalifahan. Hal ini banyak ditemui bahkan di masjid-masjid yang dimiliki oleh BUMN.

"Kita juga peduli terhadap ceramah keagamaan yang masuk pada berbagai tempat di BUMN maupun di masjid-masjid ya, itu ironis. Itu masjid BUMN tapi penceramahnya pro khilafah. Ini perlu penjelasan pada masyarakat dan rakyat bahwa kalau sistem khilafah itu dilaksanakan maka NKRI bubar. Oleh karena itu, persoalan khilafah bukan semata persoalan keagamaan saja, tapi ini eksistensi dari bangsa ini mengapa HTI, khilafah dari berbagai negara ditolak termasuk di Timur Tengah, sama saja itu mengambil alih negara," kata Komaruddin.

Menurutnya, jika sistem khilafah mengambil pemerintahan Indonesia, maka itu akan banyak pihak yang keberatan. Bukan hanya militer, polisi, tapi juga masyarakat umat beragama lainnya karena ikut andil memperjuangkan Republik Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement