REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasal 1 angka 1 dalam rancangan undang-undang (RUU) kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) mengenai tindak pidana korupsi menuai protes dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Indriyanto Seno Adji, protes KPK tersebut tentunya beralasan.
Sebab, kata Indriyanto, apabila masuk dalam UU KUHP, tindak pidana korupsi tidak lagi dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) dan kejahatan serius (seriousness crimes) seperti sebelumnya. Sehingga, akan berdampak pada kewenangan penegak hukum seperti KPK.
Menurut dia, delik korupsi sebagai extra ordinary crimes dan seriousness crimes tidak saja terletak pada modus operandi dan komitmen tegas penegak hukumnya. Namun, terutama justru karakter khususnya kejahatan yang memerlukan rumusan norma hukum pidana dan ancaman pidana yang justru menyimpang dari standar hukum pidana.
"Dalam hal delik tipikor sebagai karakter hukum pidana khusus diakseskan ke dalam KUHP maka delik tipikor bukan lagi dianggap sebagai extra ordinary crimes maupun seriousness crimes, tapi hanya dianggap sebagai ordinary crimes (kejahatan biasa)," ujar Indrayanto kepada Republika.co.id, Senin (4/6).
Kemudian, apabila KPK tetap "dianggap" berwenang melaksanakan tugasnya yang tercantum dalam UU Pemberantasan Tipikor, ia menilai, akan timbul perdebatan pro kontra dalam penafsiran undang-undangnya. Persoalan kodifikasi delik korupsi dalam RKUHP, menurut Indrianto, seharusnya mencerminkan konsistensi negara dalam penegakan hukum terhadap korupsi.
Ia menerangkan, dalam UU Nomor 3 Tahun 1971, korupsi dianggap sebagai kejahatan yang mengganggu perekonomian dan pembangunan nasional. Delik jabaran KUHP yang dimasukkan dalam UU 3/1971 ini dipertahankan dalam UU Pemberantasan Tipikor.
"RUKHP justru menarik kembali delik tipikor dalam UU Tipikor dikembalikan lagi ke dalam KUHP sehingga terkesan adanya inkonsistensi negara terhadap kebijakan pemberantasan korupsi," kata Indriyanto.
Indriyanto menawarkan solusi, yakni dalam RKUHP ada aturan peralihan yang permanen dan mengatur secara tegas bahwa lembaga penegak hukum (Polri, Kejaksaan, dan KPK) tetap berwenang melaksanakan pemeriksaan delik tipikor, baik yang berada di dalam maupun di luar KUHP. Dengan solusi tersebut, kata Indrayanto, pengaturan baru yang diadopsi dari United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dalam RKUHP tidak berpengaruh.
"Jadi, memang sebaiknya kalaupun negara tetap berkeras delik tipikor masuk dalam RKUHP maka sebaiknya solusi itu yang diperlukan," kata Indrayanto.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyebut, terdapat sejumlah persoalan yang dianggap berisiko bagi KPK ataupun pemberantasan korupsi ke depan jika tindak pidana korupsi masuk ke dalam KUHP yang sedang direvisi DPR. Pertama, tentang kewenangan kelembagaan KPK.
Undang-Undang KPK menentukan bahwa mandat KPK adalah memberantas korupsi sebagaimana diatur dalam UU Pemberantasan Tipikor. Sementara itu, di dalam rancangan kitab undang-undang hukum pidana (RKUHP) itu tidak ada penegasan soal kewenangan lembaga KPK.
Kedua, kata Syarif, di dalam RKUHP diwacanakan ada aturan-aturan baru yang diadopsi dari UNCAC. Misalnya, korupsi di sektor swasta.
"Akan tetapi, dengan masuk ke dalam KUHP itu, apakah nanti KPK berwenang untuk menyelidik, menyidik, dan menuntut korupsi di sektor swasta, padahal di negara-negara lain itu korupsi, baik publik maupun swasta, itu menjadi salah satu kewenangan dari Malaysia Anti-Corruption Commission (Malaysia) maupun Corrupt Practices Investigation Bureau (Singapura)," ujar Syarif.
Ketiga, terjadi perbedaan jarak atau disparitas ketentuan UU Pemberantasan Tipikor dengan pasal-pasal yang ada di dalam RKUHP. Misalnya, RKUHP tidak mengatur tindak pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti.
Selanjutnya, RKUHP mengatur pengurangan ancaman pidana sebesar 1/3 terhadap percobaan, pembantuan, dan permufakatan jahat tindak pidana korupsi. Persoalan lainnya, beberapa tindak pidana korupsi dari UU Tipikor dimasukkan ke dalam Bab Tindak Pidana Umum RKUHP.
Infografis Indeks Persepsi Korupsi