Jumat 01 Jun 2018 16:52 WIB

Jaksa Agung Sebut Penyelesaian Kasus HAM Berat Minim Bukti

Prasetyo sebut dari hasil penyelidikan, hanya asumsi dan opini, bukan bukti

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Bilal Ramadhan
Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan menuntut penyelesaian tujuh berkas kasus pelanggaran HAM berat yang menumpuk di Kejaksaan Agung dalam unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.
Foto: Antara/Fanny Octavianus
Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan menuntut penyelesaian tujuh berkas kasus pelanggaran HAM berat yang menumpuk di Kejaksaan Agung dalam unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Agung M Prasetyo menyampaikan penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM sulit dilanjutkan lantaran minimnya bukti. Selama ini, kata dia, koordinasi dengan Komnas HAM terus dilakukan namun terdapat sejumlah hambatan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM tersebut.

"Selama ini sudah kita coba bedah semua hasil penyelidikan dari Komnas HAM. Bukan hanya perkara kamisan, perkara trisakti, tapi juga yang lain-lain. Ada 6 perkara HAM berat yang kita teliti. Akhirnya semua menyadari bahwa yang ada itu, hasil penyelidikan itu hanya asumsi, opini saja, bukan bukti. Proses hukum kan perlu bukti bukan opini," jelas Prasetyo usai memperingati Hari Lahir Pancasila di Kemenlu, Jumat (1/6).

Sulitnya mencari bukti-bukti dari kasus tersebut menyebabkan upaya pemerintah terhambat. Ia menceritakan, Kejaksaan Agung pernah melakukan konsinyasi di Bogor selama hampir sepekan bersama Komnas HAM meneliti kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Seperti peristiwa 66, kasus petrus, penculikan aktivis, kasus Talangsari dan kasus Trisakti.

Kendati demikian, mereka terhambat oleh minimnya bukti yang ada. Menurut Prasetyo, cara yang paling memungkinkan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dengan melakukan pendekatan nonjudicial yakni rekonsiliasi.

"Waktu itu kita usulkan untuk diselesaikan dengan pendekatan nonjudicial, rekonsiliasi, itu yang paling mungkin dilakukan. Tapi kalau untuk proses hukum ya sulit di situ," tambahnya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan, peristiwa pelanggaran HAM tersebut terjadi cukup lama sebelum UU Peradilan HAM, UU Nomor 26/2000 ada. Karena itu, proses hukum kasus ini pun harus melalui keputusan politik DPR serta harus dibentuk peradilan HAM ad hoc.

"Proses hukumnya pun harus melalui keputusan politik DPR, harus bentuk dulu peradilan HAM ad hoc, sekarang semuanya belum ada," ujar dia.

Prasetyo menegaskan, kasus pelanggaran HAM berat masa lalu memang harus diselesaikan. Kendati demikian, bentuk penyelesaian kasus ini harus dengan melihat realita yang ada saat ini.

"Nah, makanya kembali saya pikir yang lebih baik adalah penyelesaian secara nonjudicial," kata Prasetyo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement