REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokir 3.195 konten radikal di sejumlah laman media sosial dalam 10 hari terakhir.
"Kami menggunakan Artificial Intelligence System atau sistem kecerdasan buatan. Temuan (sampai) 21 mei 2018, selama sekitar 10 hari," kata Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo Rosarita Niken Widiastuti dalam Forum Merdeka Barat (FMB) 9 bertajuk "Merawat Keberagaman, Menangkal Terorisme dan Radikalisme" di Jakarta, Rabu (30/5).
Menurut Niken, media sosial saat ini telah menjadi faktor yang mempercepat radikalisasi oleh kelompok teroris. Apalagi, sebanyak 53 persen atau sekitar 143 juta penduduk di Tanah Air telah mengakses internet.
"Dengan adanya media sosial yang dimanfaatkan kelompok radikal, ideologi ini semakin lama semakin cepat menyebar. Dan kalau anak-anak muda yang wawasannya terbatas dan dibombardir informasi radikal, maka mereka banyak yang kemudian jadi berpotensi terinternalisasi paham-paham tersebut," ujarnya.
Oleh karena itu, Niken mengimbau masyarakat lebih banyak mengisi dunia maya dengan konten-konten positif yang membangun dan bermanfaat bagi negara. Hal itu seperti implementasi Pancasila, toleransi, penghormatan kepada orang lain, dan hal yang bisa meningkatkan persatuan.
Sementara itu, Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Hariyono mengatakan saat ini masalah mendasar terkait Pancasila, antara lain adalah adanya distorsi pemahaman terhadap dasar negara tersebut. Hal itu terjadi karena sejak Orde Baru yang berakhir pada 1998, Pancasila tidak lagi diajarkan sehingga memori generasi muda tentang Pancasila cenderung kosong, katanya.
Karena itu, kata Hariyono, BPIP kini tengah menyusun garis-garis besar pembinaan Pancasila. "Selain itu saat ini masyarakat kesulitan mencari teladan. Bahkan dalam dunia seni budaya, seni rakyat, tidak memberikan optimisme pada anak didik Indonesia," tuturnya.
Itulah sebabnya, Hariyono mengatakan, BPIP tengah mengembangkan pola pendidikan dan pelatihan yang menjadikan Pancasila menjadi sumber kreasi dan prestasi. Menurut dia, pendidikan Pancasila tidak bisa dilakukan secara top down dan bersifat indoktrinasi. Akan tetapi, pendidikan harus dengan memasukkan nilai Pancasila dalam problem yang ada di masyarakat.