Rabu 30 May 2018 05:06 WIB

Menyoal Gaji 'Tidak Logis' BPIP

Ada inefisiensi yang sedang berlangsung dengan bungkus aturan dalam hal gaji BPIP.

Gaji pejabat (ilustrasi).
Foto:
Gaji pejabat (ilustrasi).

Belum ada prestasi kinerja

BPIP lahir pada Maret 2018, Perpres Keuangan BPIP dikeluarkan pada Mei 2018. Dewasa ini mudah menelusur kinerja lembaga, dengan digoogling saja tergambar bagaimana kinerja lembaga ini. Mungkin masih diperdebatkan dengan keberadaan lembaga ini yang semula berasal dari Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) yang dibentuk oleh Presiden sejak Mei 2017 lalu telah melakukan serangkaian sosialisasi dan pembinaan Ideologi Pancasila.

Namun, itu semua belum terbukti efektivitas kinerjanya selama satu tahun tersebut. Bahkan, kalau mau membuka diri melihat jauh pada kenyataan, serangkaian bom teroris di Surabaya, Sidoarjo, dan kota lainnya itu menunjukkan bahwa kinerja lembaga ini belum terbukti.

Fenomena kegaduhan besarnya gaji pejabat BPIP ini semakin menyeruak, saat tetangga kita, Malaysia, sedang melakukan "gotong royong" puasa gaji. PM Mahatir sampai memotong gajinya sendiri untuk mengatasi beban utang negaranya. Heroiknya negara tetangga dalam mengatasi utang seakan terbalik dengan perilaku pemborosan negara kita dalam menggaji pejabatnya.

Sementara menteri keuangan berdalih, jangan bandingkan Malaysia yang sedang sulit dengan negara kita yang masih sehat keuangannya. Alibi ini tidak cukup memuaskan publik karena faktanya, ada “pelanggaran struktural dan kinerja dalam penentuan gaji pejabat BPIP.

Pernyataan yang semimelegalkan pemborosan tersebut dapat mematikan semangat publik dalam mendukung konsolidasi keuangan negara. Selain paradoks dengan semangat pemberantasan korupsi yang tujuan utamanya adalah menutup penyelewengan pembiayaan penyelenggaraan negara, sementara pemborosan dalam penyelenggaraan negara masih dilegalkan.

Malah sebaiknya, momen ini menjadi hal yang positif untuk mengingatkan semua pihak bahwa ada yang masih semrawut dalam struktur penggajian pejabat publik kita. Untuk kita segera atur agar lebih adil dan memuaskan kepercayaan rakyat dalam mendukung ekonomi bangsa.

Akhirnya, problem gaji BPIP ini jangan sampai menjadi blunder, menjadi isu yang melemahkan misi baik sosialisasi dan pembinaan Pancasila. Padahal tantangan de-ideologisasi Pancasila nyata ada. Ketidakadilan struktural penggajian personel BPIP jangan sampai masyarakat menilai “pembinaan Pancasila ternyata tidak Pancasilais” hanya gara-gara gaji boros yang dinilai melanggar keagungan nilai Pancasila.

Personel dalam BPIP adalah tokoh-tokoh besar bangsa Indonesia yang sudah melewati kepentingan gaji dalam berdedikasi untuk Indonesia. Mereka diyakini memiliki jiwa Pancasila yang patut diteladani. Inilah saatnya personel BPIP tersebut untuk menunjukkan suri teladan yang utama dalam pelaksanaan nilai ideologi Pancasila dalam perbuatan, dengan menolak menerima gaji boros tersebut. Hal itu lebih bijak daripada sekadar mempersilakan rakyat untuk mengujinya ke Mahkamah Agung.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement