Jumat 25 May 2018 15:28 WIB

Aman Abdurrahman Mengaku Ditawari 'Kompromi' oleh Pemerintah

Aman Abdurrahman hari ini menjalani sidang pleidoi di PN Jakarta Selatan.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Andri Saubani
Terdakwa kasus dugaan serangan teror bom Thamrin dengan terdakwa Oman Rochman alias Aman Abdurrahman mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (25/5).
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Terdakwa kasus dugaan serangan teror bom Thamrin dengan terdakwa Oman Rochman alias Aman Abdurrahman mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (25/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aman Abdurrahman mengaku sempat ditawari pemerintah untuk 'kompromi' saat ditahan. Namun, Aman menolak. Hal ini disampaikan Aman saat membacakan nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (25/5).

Aman menceritakan hal ini untuk menggambarkan pandangannya, tentang bagaimana pemerintah merasa ketakutan dengan ideologi khilafah Islamiyah yang diusungnya. "Simaklah kisah ini supaya Anda paham bahwa politik yang berperan di balik ini semua," kata Aman sesaat sebelum menceritakan kejadian yang dialaminya.

Aman menceritakan, pada 15 Desember 2017 dia dibawa ke Kejaksaan Jakarta Selatan untuk melengkapi berkas perkara Bom Thamrin. Lalu, pada Kamis 21 Desember 2017 di sel isolasinya di Gegana Brimob, Kelapa Dua, Aman mengaku didatangi tamu bernama Profesor Rohan asal Sri Langka yang bekerja untuk negara Singapura dan bekerja sama dengan Pemerintah Republik Indonesia.

"Tentunya dalam bidang pengkajian gerakan Islam," ujar Aman.

Menurut Aman, Rohan mewawancarainya tentang Islam dalam pandangan Aman. Wawancara itu disertai penerjemah dan ditemani beberapa perwira pertama dan perwira menengah Densus 88 dan anggota lainnya.

Keesokan harinya, lanjut Aman, pada Jumat 22 Desember 2017 Rohan datang lagi dengan disertai tim syuting kamera video film. Aman mengaku diwawancarai Rohan dengan direkam video perihal buku-buku dan rekaman-rekaman kajian yang disebarkan selama di penjara dan di luar penjara. Rohan pun meninggalkan Aman untuk beberapa saat.

"Pada sore pukul 17.00 WIB, Profesor Ohan datang dan tanpa banyak pembukaan ia ajukan tiga pertanyaan kepada saya," ujar dia.

Menurut Aman, pertanyaan yang diajukan Rohan adalah, bagaimana kalau pemerintah ini menawarkan kepadanya untuk berkompromi dengan pemerintah. Aman berkata, bila ia mau berkompromi maka akan langsung dibebaskan dan bila tidak mau berkompromi maka akan dipenjara seumur hidup.

"Saya jawab dengan mengatakan, saya tidak akan mau berkompromi dengan pemerintah ini, saya Insya Allah akan keluar dari penjara berupa mayat sebagai syahid atau keluar dalam keadaan hidup sebagai pemenang dalam prinsip ini," kata Aman.

Tawaran kedua, Aman menuturkan, ia diajak berkeliling museum Indonesia bersama Rohan karena Rohan adalah pengagum sejarah Indonesia. "Saya jawab saya tidak mau," kata dia lagi.

Kemudian, tawaran ketiga, menurut Aman, Rohan menwarinya untuk makan malam dengannya di luar. Ia kembali menolak.

"Saya tidak akan keluar dari penjara kecuali berupa mayat sebagai syahid insya Allah atau keluar masih hidup sebagai pemenang," katanya lagi.

Aman memandang tawaran kompromi itu adalah ujian bagi keteguhannya memegang ilmi tauhid yang diyakininya. Sehingga, ia menolak.

Dalam pembacaan tuntutan pada Jumat (18/5), Aman dituntut hukuman mati oleh jaksa penuntut umum (JPU). Dia disebut memenuhi seluruh tuntutan yang disusun JPU karena terlibat sejumlah aksi teror.

Baca Juga: Aman Abdurrahman: Pelaku Teror Bom Surabaya tak Pahami Islam

Pihak Aman memandang tuntutan tersebut tidak masuk akal. Aman mengakui menganut paham khilafah dan memandang pemerintah kafir. Namun, ia mengaku tidak pernah menginstruksikan agar muridnya melakukan serangan teror yang dituduhkan terkait dengannya. Aksi-aksi teror itu, kata Aman, tak ada kaitan dengannya.

Adapun dakwaan JPU yang ditujukan pada Aman terbagi menjadi dua, dakwaan kesatu primer dan dakwaan kedua primer. Pada dakwaan kesatu primer, Aman dinilai melanggar Pasal 14 juncto Pasal 6 Perppu Nomor 1 Tahun 2002 yang telah ditetapkan menjadi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dakwaan kesatu primer.

Lalu, dakwaan kedua primer, Aman dinilai melanggar Pasal 14 juncto Pasal 7 Perppu Nomor 1 Tahun 2002 yang telah ditetapkan menjadi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Aman dalam perkara tersebut dituntut sebagai sebagai aktor intelektual sejumlah kasus teror, yaitu Bom Gereja Oikumene di Samarinda pada 2016, Bom Thamrin (2016), Bom Kampung Melayu (2017) Jakarta, serta dua penembakan polisi di Medan dan Bima (2017).

Aman sebelumnya juga pernah divonis bersalah pada kasus Bom Cimanggis pada 2010. Dalam kasus ini, Aman disebut berperan dalam membiayai pelatihan kelompok teror di Jantho, Aceh Besar. Aman divonis sembilan tahun penjara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement