Rabu 23 May 2018 16:49 WIB

Yang Dulu Berseberangan dengan Jokowi, Kini Masuk Istana

Moeldoko menilai tidak ada yang namanya lawan politik, melainkan mitra demokrasi.

Rep: Febrian Fachri / Red: Ratna Puspita
Wasekjen Pemenangan Pemilu Golkar Ali Mochtar Ngabalin
Foto: Republika/Arif Satrio Nugroho
Wasekjen Pemenangan Pemilu Golkar Ali Mochtar Ngabalin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Satu per satu orang-orang yang dulu kerap melontarkan kritik keras kepada pemerintahan Joko Widodo kini melenggang ke istana. Rabu (23/5) hari ini, giliran Ali Mochtar Ngabalin yang masuk ke istana. 

Politikus Partai Golkar itu dipercaya menjadi tenaga ahli utama Kepala Staf Prediden (KSP). Ngabalin akan bertugas di bawah deputi IV KSP yang membidangi komunikasi politik.

“Tugasnya adalah sebagai Tenaga Ahli Utama di Kantor Staf Presiden. Bukan sebagai Juru Bicara Presiden atau Staf Khusus Presiden,” kata Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dalam siaran persnya, Rabu (23/5).

Moeldoko mengatakan Ngabalin merupakan politikus yang memiliki banyak pengalaman dan jaringan. Moeldoko mengatakan Ngabalin akan membantu mengomunikasikan apa yang sudah dikerjakan oleh pemerintah.

“Sudah begitu banyak program dan kebijakan yang dibuat pemerintah, dan memerlukan komunikasi kepada publik yang lebih luas," kata dia.

Masuknya Ngabalin ke lingkaran istana menjadi bukti cairnya dunia perpolitikan di Indonesia. Kalau bahasa pengamat tak ada yang abadi di dalam politik. Kawan dapat sewaktu-waktu menjadi lawan, atau lawan dapat menjadi teman dalam rentang waktu yang singkat.

Ngabalin diketahui sosok yang sudah sejak Pemilu 2014 lalu menjadi penentang gerbong Joko Widodo Jusuf Kalla. Ketika itu, Golkar selaku partai tempatnya bernaung berada dalam barisan pendukung pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa.

Kehadiran Ngabalin ke lingkaran istana ini menyusul rekan separtainya Idrus Marham yang dipercaya Jokowi menduduki kursi menteri sosial. Sepertihalnya Ngabalin, Idrus juga masuk ke dalam tim sukses Prabowo-Hatta pada Pemilu 2014.

Bahkan, usai sesi debat perdana capres-cawapres Pemilu 2014, Idtus sempat menyatakan kualitas Prabowo lebih baik dibandingkan Jokowi. "Prabowo itu pemimpin, Jokowi itu manajer," kata Ngabalin pada 10 Juni 2014. 

Ketika pilpres selesai, Idrus sempat keberatan Golkar merapat ke Jokowi. Ini adalah momen ketika Golkar terbelah menjadi dua kubu, yakni kubu Aburizal Bakrie dan kubu Agung Laksono.

Pengamat politik dari Indonesia Public Institute, Karyono Wibowo, menilai pengangkatan Idrus sebagai menteri sosial menunjukan Jokowi ingin semakin 'mesra' dengan Partai Golkar. Menurutnya, pengangkatan tersebut menjadi sinyal ‘kemesraan’ karena Idrus merupakan sebagai sekjen Partai Golkar. 

Kini, Idrus menunjukkan dukungan terhadap kinerja Jokowi. Misalnya, pada April lalu, Idrus mengutarakan keyakinan akan banyak partai politik yang bakal merapat memberikan dukungannya kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Pilpres 2019. 

Menurutnya, hal ini tak terlepas dari keberhasilan Jokowi dalam memimpin Indonesia. "Saya punya keyakinan, orang yang memahami keberhasilan Pak Jokowi ini pelan-pelan tapi pasti mereka bakal ramai, merapat," ujar Idrus di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, 9 April 2018. 

Contoh lainnya ketika Jokowi bermain kuda lumping saat Hari Pendidikan Nasional, awal bulan ini. Walau hanya permainan sederhana, Idrus mengatakan, permainan Jokowi bersama anak-anak di halaman Istana Negara, awal bulan ini. 

Idrus mengatakan permainan ini menyiratkan makna sportivitas tinggi yang dapat diimplementasikan ke dalam dunia politik. Misalnya, politik mengakui kekalahan.

Tak hanya Idrus dan Ali Mochtar Ngabalin. Tantowi Yahya lebih dulu masuk ke gerbong pemerintah. Dia adalah artis Tantowi Yahya. Saat Pilpres 2014, Tantowi termasuk salah satu juru bicara pasangan Prabowo-Hatta. Sejak 2016 sampai sekarang, Tantowi dipercaya menjadi Duta Besar Indonesia untuk Selandia Baru.

Terkait penunjukkan Ngabalin, Moeldoko juga mengomentari sikap politiknya pada masa lalu yang lebih banyak berseberangan dengan Pemerintah. Moeldoko menilai tidak ada yang namanya lawan politik, melainkan sebagai mitra demokrasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement