REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Konsul Jenderal Cina di Surabaya, Gu Jingqi, berharap hubungan baik antara Cina dan Indonesia dalam segala bidang bisa terus terjalin dan bahkan meningkat. Terutama melalui jalinan sosial budaya tokoh agama, khususnya ulama atau kiai dan media massa.
"Lebih banyak tokoh agama dan kalangan media yang berkunjungan dan mengetahui langsung Cina lebih baik sehingga bisa secara objektif menilai Cina sekarang," kata Jingqi saat berbuka puasa bersama kalangan media di Jawa Timur (Jatim), di rumah dinas Konjen RRT di Surabaya, Kamis (17/5) malam.
Menurut dia, selama ini rakyat Indonesia, khususnya Jatim, lebih banyak tahu tentang Cina dari (versi) media Barat, tentunya sarat dengan kepentingan Barat. "Kami meragukan (media Barat) objektivitasnya," katanya.
Karena itu, menurut dia, Konjen akan berupaya lebih banyak lagi mengundang media dan tokoh agam di Jatim untuk berkunjung ke berbagai provinsi di Negara Tirai Bambu itu. Ada lima daerah otonom, kata Jingqi, yang banyak dihuni oleh masyarakat beragama Islam.
"Pemerintah kami sangat menghargai warganya memeluk agama. Semua pemeluk agama bebas dan hidup berdampingan di Cina. Kami (pemerintah) tidak melarang warganya dalam hal agama dan keyakinan masing-masing," ujarnya.
Ia menjelaskan, Cina 30 tahun lalu dengan sekarang sangat berbeda. Kalau dahulu rakyatnya bekerja untuk pemerintah. Sekarang terbalik, pemerintah bekerja untuk rakyatnya sehingga pembangunan diutamakan untuk kesejahteraan rakyat.
Dahulu rakyat Cina kalau mau mengurus surat-surat kependudukan "dipersulit". Jia memberi uang sogokan, arak, atau rokok, baru oleh pejabat pemerintahan dilayani dan dipercepat penyelesaiannya.
"Sekarang hal seperti itu tidak ada, memanfaatkan teknologi digital segala urusan terbuka dan harus selesai dalam hitungan jam, pejabat korup disikat," tuturnya sambil memperagakan dengan tangannya seolah memotong.
Ia juga bercerita tentang perkembangan Muslim di Cina terkait dengan Indonesia. Laksamana Cheng Ho dengan ratusan armada kapal perangnya menjelajah Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dan sebagian di antaranya adalah tokoh Islam yang menyebarkan agama Islam di pesisir Indonesia.
Itu terjadi sekitar 250 tahun sebelum orang Eropa, khususnya Belanda, datang di Indonesia. Namun, kalau Laksamana Cheng Ho datang untuk berdagang dan menjalin hubungan sosial, budaya maupun ekonomi, sementara bangsa Eropa ingin menguasai dan akhirnya menjajah.
"Kami sejak dulu inginnya bekerja sama. Sekarang Cina cukup maju dan kemajuan bidang teknologi serta ekonominya ini juga ingin dikerjasamakan dengan Indonesia. Kami sahabat baik Indonesia yang bisa dipercaya," ujarnya sambil tersenyum.