REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla optimistis, revisi atas Undang Undang (RUU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme akan rampung sekitar Mei atau Juni 2018. Dia juga memastikan pemerintah tidak akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terkait terorisme.
"Kita harapkan bulan Mei atau Juni ini bisa selesai, nggak perlu perppu, sebenarnya tanpa itu pun kan (bisa) dijalankan," ujar Jusuf Kalla ketika ditemui di kantornya, Selasa (15/5).
Diketahui, RUU ini digagas sejak 2016 dan hingga kini belum rampung. Pansus RUU Antiterorisme telah menyetujui semua pasal yang diubah dalam RUU Antiterorisme. Namun saat ini, bola penyelesaian RUU tersebut berada di tangan pemerintah.
Pansus tetap menjadwalkan RUU rampung pada masa sidang DPR selanjutnya. Dalam RUU Antiterorisme tersebut menekankan penguatan dalam fase pencegahan terorisme. Adapun, dalam Pansus RUU Antiterorisme, selain penguatan dalam fase pencegahan juga mengemukan pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme dan penguatan BNPT.
Jusuf Kalla mengatakan, teror bom yang terjadi di Surabaya menjadi pendorong agar RUU Antiterorisme ini dipercepat. Dia menilai keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dapat memperkuat upaya pemberantasan terorisme.
"Semua punya peran, polisi pasti, TNI juga mempunyai kemampuan yang hebat karena (negara kita) ini terlalu luas kalau dilibatkan semua kan bagus," kata Jusuf Kalla.
Anggota Pansus Revisi Undang-undang Terorisme dari Fraksi PDIP, Risa Mariska membenarkan poin terkait definisi terorisme menyebabkan lamanya penyelesaian Revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak PidanaTerorisme. Menurutnya, fraksinya termasuk fraksi yang tidak menyepakati adanya definisi terorisme yang dirumuskan beberapa fraksi di pansus.
Risa mengungkap, alasan fraksinya tidak menyetujui adanya definisi terorisme dalam Revisi UU Terorisme karena definisi terorisme yang berkembang dalam pembahasan pansus justru dinilai akan mempersempit ruang gerak aparat penegak hukum dalam mencegah dan menangani terorisme. Sebab, dalam definisi yang dirumuskan beberapa fraksi di pansus menetapkan unsur-unsur dalam definisi terorisme, yakni perlu adanya motif dan tujuan politik.
"Kalau kita melihat sesuatu dimasukkan ke dalam definisi kemudian ada unsur-unsur perbuatannya, kalau perbuatan itu tidak memenuhi unsur yang ada dalam definisi, ini tentu akan dilepaskan. Ini akan mempersempit ruang gerak dari aparat penegak hukum dalam memberantasan terorisme," ujar Risa saat ditemui disela-sela diskusi bertajuk Nasib Pembahasan RUU Terorisme di Hotel Century Park, Senayan, Jakarta, Senin (14/5).