Selasa 15 May 2018 11:38 WIB

Ancaman Teroris Cilik

Maka itu, upaya deradikalisme harus menyasar anak usia dini

Ilustrasi Terorisme
Foto: Foto : MgRol_92
Ilustrasi Terorisme

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Badrul Munir, Dokter spesialis saraf dan Dosen Neurologi FK Universitas Brawijaya

Dugaan pelaku pengeboman di Surabaya yang masih satu keluarga tidak hanya mengagetkan, tetapi juga menyedihkan. Sebuah tindakan brutal yang tidak berperikemanusiaan dengan korban begitu banyak bagi orang tidak berdosa ternyata melibatkan anak-anak sebagai pelakunya.

Anak-anak yang seharusnya tumbuh kembang dalam masa yang alamiah dan kondusif direcoki serta dicuci otak oleh orang tuanya tentang ajaran kekerasan dan radikalisme. Bahkan, anak tersebut dilibatkan secara aktif dalam sebuah operasi pengeboman sadis yang tidak berperikemanusiaan. Ini menjadi sebuah fenomena yang perlu kita wapadai, bahwa ajaran kekerasan dan radikalisme telah diwariskan secara dini oleh orang tuanya yang teroris kepada anak mereka.

Dalam ilmu tumbuh kembang otak anak, neuron terbentuk sejak dalam kandungan sampai maksimal dua tahun umurnya. Maka pembentukan otak tersebut membuat manusia sangat berkembang pesat sejak kelahiran sampai menjelang remaja (10-11 tahun). Hal ini karena terjadi proses pembentukan hubungan antarsel neuron satu dengan ribuan sel neuron lain yang disebut sinaptogenisis. Apa pun yang masuk ke dalam otak mereka akan membentuk sifat dan corak sinap itu sendiri, yang akhirnya membentuk fungsi dan anatomi sinap itu sendiri (plastisitas).

Sinaps tersebut akan sangat memengaruhi kerja neuron. Hal ini karena ada komunikasi yang terus-menerus di antara beberapa neuron yang diperantarai oleh ribuan neurotransmiter dan pertukaran ion di celah sinaps sepanjang stimulus tersebut masih ada. Dan stimulus itu masuk ke dalam otak melalui pancaindra anak yang didapat dari lingkungan sekitarnya. Di sinilah pentingnya memberi stimulus yang baik ke dalam anak kita sejak dini.

Dalam neurosains fungsi pemahaman masuk dalam ranah kognisi dan ini dilakukan oleh kerja otak di lobus frontalis, parietalis, dan sistem limbik serta hipokampus. Apa pun yang dilihat, didengar, dibaca, dan dirasakan oleh pancaindra anak akan sampai ke daerah ini dan akan membentuk sinap secara permanen bila paparan itu terus-menerus terjadi dalam jangka panjang.

Apabila sejak dini anak sudah terpapar hal yang tidak baik, seperti kekerasan atau radikalisme, di dalam otaknya akan terbentuk memori dan pemahaman kekerasan dan radikalisme yang tersimpan dalam memori permanen di hipokampus dan lobus frontalis. Kelak dia akan tumbuh dalam karakter yang mudah menumpahkan memori kekerasan di otaknya.

Memori kekerasan dan radikalisme permanen ini bila sudah terbentuk akan sulit dihilangkan walaupun mendapatkan upaya pemahaman yang benar tentang kekerasan (deradikalisasi). Apalagi, bila memori ini ditambah dengan keyakinan yang bersifat transidental dengan pemahaman yang salah terhadap ajaran Tuhan sambil berimajinasi tentang kebahagiaan di alam baka setelah misi radikalisasi dilaksanakan.

Deradikalisasi usia dini

Maka itu, upaya deradikalisme harus menyasar anak usia dini. Di sinilah peran keluarga dan sekolah untuk menanamkan nilai kebenaran universal bersama sejak dini tanpa harus menggadaikan keyakinan pokok dasar keagamaan.

Membiasakan saling berbaur satu sama lain antarpemeluk agama, menjalin kerja sama di dalam urusan sosial dan kemanusiaan serta menghindari bentuk eksklusif di masyarakat perlu ditanamkan sejak dini agar menjadi paparan positif yang ikut masuk ke dalam otak mereka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement