Selasa 15 May 2018 10:14 WIB

Memburu Pendoktrin Keluarga Pengebom Gereja Surabaya

Tiga keluarga pengebom tidak ada yang pernah ke Suriah.

Maria Hamdani, memasang foto bibinya, Mayawati yang menjadi korban bom gereja Surabaya di Rumah Persemayaman Gotong Royong, Malang, Jawa Timur, Senin (14/5).
Foto:
Polisi membawa sepeda motor pascateror bom di Polrestabes Surabaya, Jawa Timur, Senin (14/5).

Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengungkapkan, keluarga-keluarga pelaku teror itu saling mengenal. Ledakan bom prematur yang terjadi di Rusunawa Wonocolo, Sepanjang, Sidoarjo, juga dilakukan oleh satu keluarga. Kepala keluarga tersebut diketahui bernama Anton Febriyanto.

"Saudara Anton merupakan teman dekat dari Dita. Mereka aktif berhubungan dan kemudian pernah juga berkunjung ke Lapas Napi Terorisme di Tulungagung pada tahun 2016," ujar Tito di Mapolda Jatim, Surabaya, Senin (14/5).

photo
Densus 88 menggeledah kediaman tersangka pengeboman gereja Surabaya di Jalan Wonorejo Asri Rungkut Surabaya, Jatim, Ahad malam (13/5).

Tito mengungkapkan, ketiga keluarga yang melakukan aksi bom bunuh diri tersebut tidak pernah berkunjung ke Suriah. Namun, ada satu keluarga lain yang pernah berangkat ke Suriah dan mendoktrin ketiga keluarga yang melakukan aksi teror bom.

"Saya tidak mau sebutkan namanya karena sedang kita cari. Satu keluarga ini adalah salah satu ideolognya kelompok ini (pelaku teror di Surabaya dan Sidoarjo—Red). Itu yang baru pulang dari Suriah, atau salah satu yang ditangkap oleh Turki dan kemudian dideportasi ke Indonesia. Pimpinan dari keluarga inilah yang menjadi ideolog utama kelompok ini," kata Tito.

Psikolog Universitas Indonesia yang mendalami masalah terorisme, Mira Noor Milla, mengatakan, tren pelaku aksi teror yang berhasil ditangkap polisi saat ini memang cenderung lebih muda. "Aku lihat trennya di narapidana kasus terorisme itu yang di lapas kecenderungannya semakin ke sini usianya semakin muda. Jadi, kalau dulu berkisar 20-an ke atas, sekarang sudah 14, 15, 16 (tahun)," kata dia.

Mira menyebut keterlibatan mereka bisa diawali karena salah bergaul, sebagian berawal dari keisengan mengakses konten ideologi radikal di internet. Dari situ, mereka tertarik karena memiliki teman diskusi dengan ketertarikan yang sama. Mereka lalu bertemu dan dikenalkan dengan jaringan terorisme dan terlibat di dalamnya. "(Merasa) jadi pejuang Islam memperjuangkan agama Allah, hebat banget," ujar dia.

Proses radikalisasi ini dimulai dari keluarga. Nilai-nilai utama yang diajarkan ditanamkan oleh suami yang menjadi figur guru bagi istri dan anak-anak mereka. Sebagai bagian penanaman ideologi radikal pada anak, keluarga juga memilihkan pendidikan yang sesuai bagi anak-anak mereka. Dengan keterlibatan sang ayah dalam jaringan terorisme, kelompok ini juga melakukan ideologisasi di dalam kelompok.

"Ini yang agak susah mengeluarkan, memutus rantai dari keluarga ini memang harus ada ini (cara) khusus, jadi harus mengikutsertakan orang tuanya juga. Kalau anaknya saja yang di deradikalisasi tapi orang tuanya tidak, ya, akan ketarik lagi," ujar dia.

(Pengolah: fitriyan zamzami).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement